Jumat, 29 April 2011

Tips Memilih Program MLM

Tips Memilih Program MLM

Saat ini berbagai macam produk dipasarkan dengan sistem Multi Level Marketing (MLM) atau Network Marketing. Ada pulsa elektrik, buku, kosmetik, program komputer, sabun, bahkan rokok dan kopi.
Sepertinya orang-orang yang berjiwa bisnis sedang berlomba-lomba mendirikan perusahaan MLM dan menawarkan peluang bisnis dengan bonus-bonus super kepada calon membernya.
Didukung oleh perkembangan internet yang sangat pesat, perusahaan-perusahaan tersebut pun ikut menggunakan teknologi internet sebagai media untuk mempromosikan produk mereka. Melalui internet pula mereka merekrut member-member baru mereka.
Memang banyak orang yang menjadikan MLM sebagai alternatif dalam mencari pendapatan tambahan. Bahkan, jika sudah mencapai level tertentu, bisa menjadi pendapatan utama. Tidak bisa dipungkiri, banyak orang yang telah menjadi kaya karena ikut MLM, meskipun yang gagal jauh lebih banyak lagi.
Baiklah, kita lihat dari sisi positifnya saja. Dengan banyaknya program MLM, kita punya banyak pilihan peluang bisnis yang bisa kita ikuti.
Tapi . . . .  tunggu dulu. Tidak semua program MLM dikelola dengan baik. Jangan sampai Anda gagal di tengah jalan. Berikut ini beberapa tips dalam memilih program MLM yang baik :
#1  Produk Yang Berkualitas
Apakah program MLM tersebut memiliki produk yang jelas ? Beberapa MLM hanya membual tentang   bonus-bonus mereka tawarkan, tapi tidak pernah membahas produk mereka sama sekali. Jangan-jangan memang mereka tidak punya produk ?
Ingat prinsip MLM adalah menggunakan produk dan membangun jaringan. Benarkah Anda secara regular membutuhkan produk tersebut ? Janganlah Anda mengincar produknya karena Anda ingin mencari keuntungan dengan penjualan langsung.
Beberapa MLM mewajibkan repeat order dengan nilai tertentu tiap jangka waktu tertentu. Jangan sampai Anda order produknya hanya karena ingin mempertahankan keanggotaan Anda agar tetap aktif. Anda harus suka rela membeli produknya karena memang Anda membutuhkan produk tersebut. Dan produk tersebut harus mampu memenuhi kebutuhan Anda baik dari segi harga maupun kualitas.

#2  Perusahaan Penyelenggara Program MLM
Program MLM yang baik pastilah dikelola oleh perusahaan yang baik pula. Sebelum bergabung dengan suatu program MLM sebaiknya Anda periksa terlebih dahulu :
  • nama perusahaan
  • status badan hukumnya (PT, CV, UD)
  • alamat jelas kantor perusahaan
  • nomor telepon Customer Service yang bisa dihubungi
  • sudah berapa lama mereka beroperasi
Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 73/MPP/Kep/3/2000 Tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang, disebutkan di Bab II pasal 2 Ayat 1 bahwa : Perusahaan yang menggunakan system penjualan berjenjang harus berbentuk badan hukum (Perseroan Terbatas) dan WAJIB memiliki IUPB (Izin Usaha Penjualan Berjenjang).
Jadi pastikan bahwa perusahaan itu memiliki IUPB (sekarang SIUPL, Surat Izin Usaha Penjualan Langsung ).
Akan lebih baik lagi jika perusahaan tersebut telah bergabung dengan APLI (Asosiasi Penjual Langsung Indonesia). Jika perusahaan tersebut sudah tergabung dalam APLI, kemungkinan perusahaan tersebut baik, karena APLI mewajibkan anggotanya untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang ketat.

#3  Memiliki Program Pelatihan Yang Baik
Perusahaan MLM yang baik pastilah mempunyai program pelatihan untuk para membernya. Periksalah terlebih dahulu jadwal pertemuan-pertemuan mereka, di mana mereka mengadakan pertemuan, dan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh membernya untuk mengikuti pertemuan-pertemuan tersebut. Jangan sampai Anda baru bergabung, belum menghasilkan apa-apa tapi sudah tercekik sama biaya pertemuan yang mahal.

#4 Sistem Remunerasi Yang Baik
Janganlah terkecoh sama sistem remunerasi (atau bonus) yang muluk-muluk. Sistem remunerasi yang baik tentulah wajar dan realistis.
Periksalah apakah system remunerasi mereka benar-benar dibangun atas dasar saling menguntungkan antara Anda, upline Anda, dan perusahaan bersangkutan ? Apakah penghasilan Anda bisa melebihi upline anda, jika anda bekerja lebih keras dari mereka ? Sistem remunerasi yang baik tentu memungkinkan hal tersebut, agar upline Anda tidak makan gaji buta.

Itulah beberapa tips agar Anda tidak terjebak dalam program MLM yang
menyesatkan. Semoga bermanfaat. Selamat berbisnis MLM !


************************************************************************************



Hukum Multi Level Marketing (MLM) dalam Islam
dakwatuna.com – Sebagai catatan akhir dalam rangka pertimbangan memasuki bisnis MLM sekaligus sebagai filter teknis agar tidak terjebak kepada pola MLM konvensional yang tidak meneerapkan sistem syariah sebagian kadang melakukan praktik eksploitatif yang tidak adil melalui skema sistem piramida marketing.

Hal itu berpotensi menimbulkan fenomena penyesatan intelektual kalau tidak dikatakan sebagai kebohongan dalam kampanye dan propaganda MLM konvensional sebagaimana 10 catatan yang ditulis oleh Robert L. Fitzpatrick dan Joyce K. Reynolds dalam bukunya False Profits: Seeking Financial and Spiritual Deliverance in Multi-Level Marketing and Pyramid Schemes, Herald Press Charlotte) sebagai berikut:

Pertama: MLM dikenalkan sebagai bisnis yang menawarkan kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan banyak uang dibandingkan dengan bisnis lain maupun pekerjaan lain. Perlu dipelajari lebih lanjut bahwa bagi hampir semua orang yang menanamkan uang, MLM berakhir dengan hilangnya uang. Kurang dari 1% distributor MLM mendapatkan laba dan mereka yang mendapatkan pendapatan seumur hidup dalam bisnis ini persentasenya jauh lebih kecil lagi. Cara pemasaran dan penjualan yang tidak lazim menjadi penyebab utama kegagalan ini. Namun, kalau toh bisnis ini lebih berkelayakan, perhitungan matematis pasti akan membatasi terjadinya peluang sukses tersebut. Tipe struktur bisnis MLM hanya dapat menopang sejumlah kecil pemenang. Jika seseorang memerlukan downline sejumlah 1000 orang agar dia memperoleh pendapatan seumur hidup, maka 1000 orang downline tadi akan memerlukan sejuta orang untuk bisa memperoleh kesempatan yang sama. Jadi, berapa orang yang secara realistis bisa diajak bergabung? Banyak hal yang tampak sebagai pertumbuhan pada kenyataannya adalah pengorbanan distributor baru secara terus-menerus. Uang yang masuk ke kantong elite pemenang berasal dari pendaftaran para pecundang. Dengan tidak adanya batasan jumlah distributor di suatu daerah dan tidak ada evaluasi tentang potensi pasar, sistem ini dari dalamnya sudah tidak stabil.

Kedua: Jejaring (network) marketing (pemasaran mengandalkan jaringan) dikenalkan sebagai cara baru yang paling populer dan efektif untuk membawa produk ke pasar. Konsumen menyukai membeli produk dengan cara door-to-door. Perlu diperhatikan jika anda mengikuti aktivitas andalan MLM berupa penjualan keanggotaan secara terus-menerus dan mengamati hukum dasarnya, yakni penjualan eceran satu-satu ke konsumen, anda akan menemukan sistem penjualan yang tidak produktif dan tidak praktis. Penjualan eceran satu-satu ke konsumen merupakan cara kuno, bukan trend masa depan. Penjualan secara langsung satu-satu ke teman atau saudara menuntut seseorang untuk mengubah kebiasaan belanjanya secara drastis. Dengan demikian, seseorang mendapatkan pilihan terbatas, kerap kali membayar lebih mahal untuk sebuah produk, membeli dengan tidak nyaman, dan dengan kagok mengadakan transaksi bisnis dengan teman dekat atau saudara. Ketidaklayakan penjualan door-to-door inilah yang menjadi alasan kenapa pada kenyataannya MLM merupakan bisnis yang terus-terusan menjual kesempatan menjadi distributor.

Ketiga: Di suatu saat kelak, semua produk diklaim akan dijual dengan model MLM. Para pengecer, mall, katalog, dan sebagian besar pengiklanan akan mati karena MLM. Perlu dicamkan bahwa kurang dari 1% dari keseluruhan penjualan dilakukan melalui MLM dan banyak volume dari penjualan ini terjadi karena pembelian oleh para distributor baru yang sebenarnya membayar biaya pendaftaran untuk sebuah bisnis yang selanjutnya akan dia tinggalkan. MLM tidak akan menggantikan cara-cara pemasaran yang sekarang ada. MLM sama sekali tidak bias menyaingi cara-cara pemasaran yang lain. Namun yang lebih pasti, MLM melambangkan program investasi baru yang meminjam istilah pemasaran dan produk. Produk MLM yang sesungguhnya adalah keanggotaan (menjadi distributor) yang dijual dengan cara menyesatkan dan membesar-besarkan janji mengenai pendapatan. Orang membeli produk guna menjaga posisinya pada sebuah piramid penjualan. Pendukung MLM senantiasa menekankan bahwa anda dapat menjadi kaya, jika bukan karena usaha keras anda sendiri maka kekayaan itu berasal dari seseorang yang tidak anda kenal yang mungkin akan bergabung dengan downline anda, atau istilah orang MLM “big fish”. Pertumbuhan MLM adalah perwujudan bukan dari nilai tambahnya terhadap ekonomi, konsumen, maupun distributor, namun lebih merupakan perwujudan dari tingginya ketakutan ekonomi dan perasaan tidak aman serta meningkatnya impian untuk menjadi kaya dengan mudah dan cepat. MLM tumbuh dengan cara yang sama dengan tumbuhnya perjudian dan lotere.

Keempat: MLM dinilai sebagai gaya hidup baru yang menawarkan kebahagiaan dan kepuasan. MLM merupakan cara untuk mendapatkan segala kebaikan dalam hidup. Perlu diperhatikan lagi bahwa daya tarik paling menyolok dari industri MLM sebagaimana yang disampaikan lewat iklan dan presentasi penarikan anggota baru adalah ciri materialismenya. Perusahaan-perusahaan besar Fortune 100 akan tumbang sebagai akibat dari janji-janji kekayaan dan kemewahan yang disodorkan oleh penjaja MLM. Janji-janji ini disajikan sebagai tiket menuju kepuasan diri. Pesona MLM yang berlebihan mengenai kekayaan dan kemewahan bertentangan dengan aspirasi sebagian besar manusia berkaitan dengan karya yang bernilai dan memberikan kepuasan untuk sesuatu yang menjadi bakat dan minatnya. Singkatnya, budaya bisnis MLM membelokkan banyak orang dari nilai-nilai pribadinya dan membelokkan aspirasi seseorang untuk mengekspresikan bakatnya.

Kelima: MLM sering mendeklarasikan dirinya sebagai adalah gerakan spiritual dalam bisnis. Perlu mendapatkan pencerahan lebih lanjut bahwa peminjaman konsep spiritual (kerohanian) maupun emosional seperti kesadaran akan kemakmuran dan visualisasi kreatif untuk mengiklankan keanggotaan MLM, penggunaan kata-kata seperti komunitas dan kekeluargaan untuk menggambarkan kelompok penjualan, dan klaim bahwa MLM merupakan pelaksanaan prinsip-prinsip agama adalah penyesatan besar dari ajaran-ajaran rohani sekalipun menurut penulis buku ini dikaitkan dengan kristiani dan injil. Mereka yang memusatkan harapan dan impiannya pada kekayaan dalam doa-doanya jelas kehilangan pandangan akan spiritualitas murni sebagaimana yang diajarkan oleh semua agama yang dianut umat manusia. Penyalahgunaan ajaran-ajaran spiritual ini pastilah pertanda bahwa penawaran investasi MLM merupakan penyesatan. Jika sebuah produk dikemas dengan bendera atau agama tertentu, waspadalah!Komunitas, kekeluargaan dan dukungan yang ditawarkan oleh organisasi MLM kepada anggota baru semata-mata didasarkan pada belanjanya. Jika pembelanjaan dan pendaftarannya menurun, maka menurun pula tingkat keterlibatannya dalam “komunitas” tersebut.

Keenam: Sukses dalam MLM itu diklaim mudah dan semua teman dan saudara harus dijadikan prospek. Mereka yang mencintai dan mendukung anda akan menjadi konsumen anda seumur hidup. Perlu dicamkan kembali bahwa komersialisasi ikatan keluarga dan persahabatan yang diperlukan bagi jalannya MLM adalah unsur penghancur dalam masyarakat dan sangat tidak sehat bagi mereka yang terlibat. Mencari keuntungan dengan memanfaatkan ikatan keluarga dan kesetiakawanan sahabat akan menghancurkan jiwa sosial seseorang. Kegiatan MLM menekankan pada hubungan yang mungkin tidak akan bisa mengembalikan pertalian yang didasarkan atas cinta, kesetiaan, dan dukungan. Selain dari sifatnya yang menghancurkan, pengalaman menunjukkan bahwa hanya sedikit sekali orang yang menyukai atau menghargai suasana dirayu oleh teman atau saudara untuk membeli produk.

Ketujuh: Anda dimotivasi untuk dapat melakukan MLM di waktu luang sesuai kontrol anda sendiri karena sebagai sebuah bisnis, MLM menawarkan fleksibilitas dan kebebasan mengatur waktu. Beberapa jam seminggu dapat menghasilkan tambahan pendapatan yang besar dan dapat berkembang menjadi sangat besar sehingga kita tidak perlu lagi bekerja yang lain. Perlu dipikirkan kembali bahwa pengalaman puluhan tahun yang melibatkan jutaan manusia telah menunjukkan bahwa mencari uang lewat MLM menuntut pengorbanan waktu yang luar biasa serta ketrampilan dan ketabahan yang tinggi. Selain dari kerja keras dan bakat, MLM juga jelas-jelas menggerogoti lebih banyak wilayah kehidupan pribadi dan lebih banyak waktu. Dalam MLM, semua orang dianggap prospek. Setiap waktu di luar tidur adalah potensi untuk memasarkan. Tidak ada batas untuk tempat, orang, maupun waktu. Akibatnya, tidak ada lagi tempat bebas atau waktu luang begitu seseorang bergabung dengan MLM. Di balik selubung mendapatkan uang secara mandiri dan dilakukan di waktu luang, sistem MLM akhirnya mengendalikan dan mendominasi kehidupan seseorang dan menuntut penyesuaian yang ketat pada program-programnya. Inilah yang menjadi penyebab utama mengapa begitu banyak orang tenggelam begitu dalam dan akhirnya menjadi tergantung sepenuhnya kepada MLM. Mereka menjadi terasing dan meninggalkan cara interaksi yang lain.

Kedelapan: MLM dianggap bisnis baru yang positif dan suportif mendukung yang memperkuat jiwa manusia dan kebebasan pribadi. Perlu dicamkan kembali bahwa MLM sebagian besar berjalan karena adanya ketakutan. Cara perekrutan selalu menyebutkan ramalan akan runtuhnya model-model distribusi yang lain, runtuhnya kekokohan ekonomi Amerika, dan sedikitnya kesempatan di bidang lain (profesi atau jasa). Profesi, perdagangan, dan usaha konvensional terus-menerus dikecilkan artinya dan diremehkan karena tidak menjanjikan “penghasilan tak terbatas”. Menjadi karyawan adalah sama dengan perbudakan bagi mereka yang “kalah”. MLM dinyatakan sebagai tumpuan terbaik terakhir bagi banyak orang. Pendekatan ini, selain menyesatkan kerapkali juga menimbulkan dampak menurunkan semangat bagi orang yang ingin meraih kesuksesan sesuai visinya sendiri tentang sukses dan kebahagiaan. Sebuah bisnis yang sehat tidak akan menunjukkan keunggulannya dengan menyajikan ramalan-ramalan buruk dan peringatan-peringatan menakutkan.

Kesembilan: MLM merupakan pilihan terbaik untuk memiliki bisnis sendiri dan mendapatkan kemandirian ekonomi yang nyata. Perlu dipertimbangkan kembali secara masak bahwa MLM bukanlah self-employment (usaha mempekerjakan sendiri) yang sejati. “Memiliki” keanggotaan distributor MLM hanyalah ilusi. Beberapa perusahaan MLM melarang anggotanya memiliki keanggotaan MLM lain. Hampir semua kontrak MLM memungkinkan dilakukannya pemutusan keanggotaan dengan gampang dan cepat. Selain dari putus kontrak, downline dapat diambil alih dengan berbagai alasan. Keikutsertaan dalam MLM menuntut orang untuk meniru model yang ada secara ketat, bukannya kemandirian dan individualitas. Distributor MLM bukanlah pengusaha (enterpreneur), namun hanya pengikut pada sebuah sistem hirarki yang rumit di mana mereka hanya punya sedikit kendali.

Kesepuluh: MLM sering menolak dianggap sebagai program piramid karena adanya produk (barang) yang dijual dan bukan money game.
Perlu diamati bahwa penjualan produk sama sekali bukan penangkal bagi MLM untuk lolos dari undang-undang anti program piramid, juga bukan jawaban atas tuduhan tentang praktek perdagangan yang tidak sehat (unfair) sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang negara bagian maupun federal di Amerika. MLM bisa menjadi bisnis yang legal jika sudah memenuhi prasyarat tertentu yang sudah ditetapkan oleh FTC (Federal Trade Commission) dan Jaksa Agung negara bagian. Banyak MLM jelas-jelas melanggar ketentuan tersebut dan sementara ini tetap beroperasi karena belum ada yang menuntut.

Hal itu juga merupakan potensi moral hazard yang dapat terjadi di Indonesia. Di Amerika contohnya, pengadilan sempat menetapkan angka 70% untuk menentukan legalitas MLM. Maksudnya, minimal 70% produk yang dijual MLM harus dibeli oleh konsumen non-distributor. Ketentuan ini tentu saja akan membuat hampir semua MLM masuk kategori melanggar hukum. Para pelaksana MLM terbesar mengakui bahwa mereka hanya menjual 18% produknya ke non-distributor. Bisnis MLM tumbuh dan perusahan-perusahaan MLM pun bermunculan. Kegiatan penarikan anggota ada di mana-mana. Akibatnya, terkesan seolah-olah bisnis ini merupakan gelombang bisnis masa depan, model bisnis yang sedang mendapatkan momentum, semakin banyak diterima dan diakui secara legal, dan sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh para penggagasnya, MLM akan menggantikan sebagian besar model pemasaran dan penjualan jenis lain. Banyak orang menjadi percaya dengan pengakuan bahwa keberhasilan dapat diperoleh siapa saja yang secara setia mengikuti sistem ini dan menerapkan metode-metodenya, dan bahwa pada akhirnya semua orang akan menjadi distributor MLM.

Dengan pengalaman penulis buku ini selama 14 tahun di bidang konsultan korporat untuk bidang distribusi dan setelah lebih dari 6 tahun melakukan riset dan menulis mengenai MLM, berhasil mengumpulkan informasi, fakta, dan masukan-masukan yang menunjukkan bahwa bisnis MLM pada dasarnya adalah bentuk lain dari kebohongan pasar bebas. Hal ini bisa dianalogikan dengan menyebut pembelian tiket lotere sebagai usaha bisnis dan memenangkan hadiahnya sebagai  pendapatan seumur hidup bagi siapa saja. Validitas pernyataan industri MLM tentang potensi pendapatan si distributor, penjelasannya yang mengagumkan tentang model bisnis jaringan, dan pengakuannya tentang penguasaan dalam distribusi produk adalah persis seperti validitas penampakan makhluk luar angkasa ET. Pada realitas kebanyakan, prestasi ekonomi MLM seringnya dibayar dengan angka kegagalan yang tinggi dan kerugian finansial bagi jutaan orang yang mencoba membeli ataupun bergabung sebagai distributor.
Struktur MLM, di mana posisi pada rantai penjualan yang tak berujung dicapai dengan cara menjual atau membeli barang, secara matematis tidak bisa dipertahankan. Juga, system MLM yang memungkinkan direkrutnya distributor dalam jumlah tak terbatas dalam suatu kawasan pemasaran jelas-jelas tidak stabil.

Bisnis inti MLM, yakni penjualan langsung, berlawanan dengan trend dalam teknologi komunikasi yakni distribusi yang cost-effective (berbiaya rendah), dan ketertarikan membeli pada pihak konsumen. Kegiatan penjualan secara eceran dalam MLM pada kenyataannya merupakan topeng dari bisnis utamanya, yaitu menggaet pemilik uang (investor) ke dalam organisasi pyramid yang menjanjikan pertumbuhan pendapatan yang berlipat-ganda.Sebagaimana pada semua program piramid, pendapatan para distributor di posisi puncak dan keuntungan para perusahaan pemberi sponsor berasal dari masuknya para investor (penanam uang) baru secara terus-menerus di tingkat bawah. Jika dilihat secara kasar dari segi keuntungan perusahaan dan kekayaan kelompok elite di posisi puncak, model MLM akan tampak seolah-olah tidak akan ada matinya bagi para mitra bisnis, persis seperti program pyramid sebelum akhirnya tumbang atau dituntut oleh pihak berwenang. Konstituen atau penopang utama industri MLM bukanlah publik konsumen namun para penanam uang yang menaruh harapan.

Pasar bagi para penanam uang ini tumbuh subur di saat-saat terjadinya perubahan ekonomi, globalisasi, dan PHK karyawan, seperti pada momentum krisis keuangan. Janji-janji tentang perolehan financial dengan mudah serta kaitan antara kekayaan dengan kebahagiaan tertinggi juga berperan besar dalam kondisi pasar ini. Karenanya, arah pemasaran MLM ditujukan terutama kepada calon (prospek) distributor, bukannya berupa promosi produk ke para pembeli. Produk MLM yang sesungguhnya bukanlah jasa, vitamin, nutrisi, krim kulit, alat kesehatan dan produk konsumsi lainnya, namun sesungguhnya program investasi bagi para distributor yang secara seringnya menyesatkan digambarkan dengan pendapatan tinggi, lompatan ekonomi keluarga, penggunaan waktu sedikit, modal kecil, dan sukses dalam waktu singkat serta mandiri.
Karena berbagai pelanggaran syariah pada sistem MLM konvensional, Saudi Arabia mengharamkan MLM yang tertuang dalam Fatwa Lajnah Daimah Saudi nomor 22935 demikian halnya Majma’ Fiqh (Lembaga Fikih) Sudan dalam keputusan rapat nomor 3/23 tertanggal 17 Rabiul Akhir 1424/17 Juni 2003, sepakat mengharamkan jenis jual beli dengan sistem MLM.Selain itu, perlu juga diketahui juga ciri-ciri bisnis money game yang jelas haram yang seringnya berkedok MLM. Perlu diingat bahwa bisnis yang hanya mengandalkan perekrutan saja seperti itu (tanpa ada produk yang dijual) disebut Bisnis Piramid. Kadang-kadang, bisnis piramid ini disebut juga Bisnis Money Game. Di Indonesia, bisnis ini lazim disebut Bisnis Penggandaan Uang. Dari beberapa sumber diantaranya APLI sebagaimana juga dikemukakan konsultan financial planner (Safir Senduk; 2008) dapat diketahui ciri-ciri bisnis yang dapat diindikasikan sebagai bisnis Money Game sebagai berikut:

Perusahaan yang mengadakan bisnis itu biasanya mengatakan bahwa bisnisnya adalah bisnis MLM. Penggunaan istilah MLM oleh perusahaan money game biasanya adalah karena mereka tidak ingin bisnis orang jadi malas bergabung jika mereka terang-terangan menyebut nama money game. Karena itu mereka biasanya menyebut dirinya MLM, walaupun nama mereka tidak tercantum dalam APLI (APLI adalah singkatan dari Asosiasi Penjual Langsung Indonesia, sebuah asosiasi yang salah satu fungsinya adalah menyaring mana perusahaan yang betul-betul berbisnis penjualan langsung, entah itu dengan menggunakan sistem MLM atau tidak).Anda akan diminta membayar sejumlah dana yang cukup besar hanya untuk mendaftar saja. Jumlahnya bervariasi, tapi minimal biasanya sekitar Rp 400 ribuan. Jumlah itu sebetulnya bisa dianggap cukup besar, mengingat Perusahaan MLM yang sejati biasanya hanya meminta biaya pendaftaran yang besarnya biasanya tidak sampai Rp 150 ribuan (itu pun tidak termasuk produk).

Rendahnya biaya pendaftaran pada perusahaan MLM adalah agar semua orang bisa memiliki kesempatan yang sama untuk bisa bergabung. Sedangkan pada perusahaan money game, tingginya biaya pendaftaran yang diminta adalah karena mereka harus membayar bonus penghasilan bagi orang-orang di atas Anda yang sudah lebih dulu bergabung.Pada Perusahaan MLM sejati, biaya pendaftaran biasanya harus bisa dijangkau, karena bonus penghasilan yang akan dibayarkan hanya akan dibebankan pada produk yang terjual saja, bukan dari biaya pendaftaran.Bisnis money game biasanya tidak memiliki produk untuk dijual kepada konsumen. Padahal ini sebetulnya merupakan faktor kunci dari sebuah bisnis MLM yang sejati. Karena itulah, agar bisa terlihat sebagai sebuah MLM, beberapa perusahaan money game biasanya lalu membuat produk untuk bisa dijual. Namun seringkali yang ada adalah bahwa produk yang dijual tersebut memiliki kualitas dan mutu yang biasa-biasa saja kalau tidak mau disebut asal-asalan.

Pada Perusahaan MLM, harus ada produk yang dijual (entah itu berupa barang atau jasa), dan produk tersebut haruslah memiliki kualitas yang cukup baik agar bisa bersaing di pasar. Faktor produk ini sebetulnya juga merupakan faktor kunci dari sebuah perusahaan untuk bisa disebut sebagai sebuah MLM atau tidak. Kalau bisnis yang ditawarkan tersebut tidak memiliki produk, atau mutu produknya asal-asalan saja, sulit disebut sebagai bisnis MLM. Itu jelas money game.Bisnis money game seringkali hanya menguntungkan orang orang yang pertama bergabung. Sedangkan orang-orang yang bergabung belakangan seringkali cuma ‘ketiban pulung’, entah itu perusahaannya bangkrut, lari atau ditutup, atau karena orang yang bergabung belakangan seringkali tidak bisa memiliki penghasilan yang lebih besar daripada orang yang bergabung lebih dulu.Karena itulah bisnis seperti itu juga disebut Bisnis Piramida.
Kalau di Perusahaan MLM yang ssesungguhnya, walaupun Anda bergabung belakangan, Anda bisa punya kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar daripada orang-orang di atas Anda yang sudah bergabung lebih dahulu. Sekarang tinggal keputusan Anda apakah akan bergabung dengan bisnis money game yang ditawarkan kepada Anda atau tidak. Sayangnya, di Indonesia belum ada undang-undang yang mengatur tentang bisnis seperti itu dan ketegasan sanksi kecuali terkenai pasal umum tentang penipuan dan penggelapan dan KUHPidana, sehingga pada akhirnya masyarakat pulalah yang harus menaggung sendiri risiko kerugian dan penipuan tersebut oleh perusahaan yang mengaku MLM yang tidak bertanggungjawab.Dengan demikian, Perusahaan MLM Tiansi yang Saudara tanyakan yang konon produk yang dijualnya berasal dari China belum termasuk dalam daftar MLM Syariah sehingga tidak dijamin kehalalannya. Disamping itu, semua produknya harus mendapatkan sertifikat Halal MUI untuk dipastikan kehalalan bisnis MLMnya. Wallahualam. Wabillahit Taufiq wal Hidayah

sumber : http://www.dakwatuna.com/2009/hukum-bisnis-mlm-dan-money-game-bagian-kedua/

Selasa, 26 April 2011

Competency Profiling

Have you ever heard or said the following People can look great when being interviewed, but sometimes they do not fit with the role and organisationabout new people in your organisation?
“She was a good individual performer, but really did not work well with the team”

“He didn’t do things the way we do them around here”

“She looked great in the interview but has not performed well once on board”

“I hired this great person with heaps of experience and a track record of sales success but they left after 6 months as they did not fit with our organisation”

Observation 1

  • While skills and knowledge are necessary for successful job performance they are not sufficient.
  • Successful people also need the right personal attributes to succeed and they need to fit with the organisation.

Observation 2

  • Most people hire employees on the basis of skills and Observations about most recruitment practicesknowledge
  • Yet most people fire people or consider them unsuitable because of their personal attributes.

Observation 3

  • The prime reason behind 85% of turnover is organisational incompatibility
  • We have situations where the employee can do the job, but they just don’t fit in - with the boss, with other employees or with the organisational culture.  

Niche Consulting's Competency Approach

Niche Competency Model
In this model of on-the-job performance you can have someone who may be individually performing, but if their contextual performance is poor, they still may not be seen to be performing well in all areas. 
Competency frameworks are now seen as the building blocks for achieving organisational performance through focusing on and reviewing an individual’s capability and potential.  Competency profiling helps organisations to:
  • Identify the desired behaviours required to be successful in a role
  • Identify the contextual performance required to be a good employee
  • Have these behaviours described in specific and observable terms
Defining what you need in people should be more than the skills and knowledge which are only the tip of the iceburg
In addition, a competency framework can be a key element in any change management process by setting up new organisational requirements and desired behaviours. 
An effective competency framework has applications across a wide range of human resource management and development activities including:
  • Best practice Recruitment and Selection processes – Selecting the best people who fit with the role competencies and organisational culture.  Interviewing, referee checking and psychometric tests should all link to the competencies for the role.   This ensures both fairness and legal defensibility of the recruitment process.
  • Training and development – making sure we target development activities to their current and future roles
  • Performance management – giving feedback and coaching on the targeted competencies ensures both individual performance and contextual performance are covered
  • Retention – by selecting the right people who fit the values, culture and role best, we can improve retention of individuals
  • Succession management – making sure we identify talent and develop it for future roles
Niche Consulting has worked with clients to develop their Selecting the essential competencies, rather than trying to have too many "nice to have" competenciesown competency framework and for clients who prefer to use a generic framework, we have our own rigorous and ready to use model. 
We assist clients to define the competencies for a role by doing a competency profiling exercise which is comprised of a “competency card sort”, using the Niche competencies and key client personnel.
Our framework has over 70 competencies in it under the following 9 sub groups. Each competency is defined overall and also has behavioural definitions for up to 4 different complexity levels.

The 7 sub groups in the Niche competency framework: Competencies link to many areas of HRM

  • Analytical
  • Business
  • Communication
  • Interpersonal
  • Personal Effectiveness
  • Quality, Improvement and Innovation
  • Motivation and Results

The key Human Resource Management Services

The key Human Resource Management Services that we offer are:

We believe in a holistic model of human resource management practices that integrate into each other as outlined below:
HRM model
Many researchers such as Huselid et al, Patterson et al and Guest have proven a significant link between the overall human resource management (HRM) effectiveness and organisational performance. 
For example Huselid (1997) found an increase of one standard deviation in overall human resources management effectiveness corresponded to:HRM bottomline outcomes
  • 16.3% increase in cash flow
  • 5.2% in sales per employee
  • 6% in market value
Many other studies have found similar results and provide a compelling reason to invest in initiatives that enhance HRM effectiveness.
Watson Wyatt researched 30 human resources practices grouped into the following 4 areas and rated companies based on their excellence in these human resources practices and policies:
  • Excellence in selection
  • Clear accountability and rewards
  • Flexible workplace and work practices
  • Communications integrity
After surveying more than 400 publicly listed US companies and analyzing the relationship between the Excellence in selection has clear bottom line resultsexcellence in human resource practices and objective financial data. 
The study found that over a 5 year period, total returns to shareholders were nearly twice as high for high rating companies (103%) as for low rating companies (53%), based on their excellence in HRM practices.
In addition they found excellence in selection to have the most potential for shareholder gain (10.1%) followed by clear accountability and rewards (9.2%), flexible work practices (7.8%) and communications integrity (4%).