Selasa, 22 Oktober 2019

KOMUNITAS JANDA BERDAYA INDONESIA

https://www.facebook.com/groups/2714622288557193/


LEBIH MULIA MESKI MENJANDA
Status janda mengundang cibiran. Namun, para janda dalam sejarah Islam justru adalah wanita-wanita terhormat dan menjadi teladan dengan kemandiriannya

Jadi janda? Status yang satu ini mungkin bagi sebagian besar perempuan terdengar sangat mengerikan. Betapa tidak, di masyarakat Timur yang sebagian besar masih menganggap bahwa perkawinan yang sempurna adalah bersatunya sepasang suami istri, status janda adalah kondisi yang sebisa mungkin dihindari, namun sebagai manusia perjalanan hidup tetap harus dijalani meski ditinggal suami karena meninggal dunia atau bercerai yang bisa terjadi pada siapa saja.
Menyandang status janda bagi perempuan di negeri ini berarti menanggung beban cibiran, anggapan miring, dan kesendirian memikul beban materi maupun psikis. Mayoritas, pengakuan mereka yang hidup menjanda adalah sulitnya mendapatkan tempat yang layak dalam masyarakat. Padahal, status sebagai janda tak berbeda dengan status gadis, perjaka, istri, suami, atau duda sekalipun.
Walaupun status menjanda tersebut disandang akibat wafatnya sang suami, perlakuan masyarakat terhadap janda tetap tak senormal terhadap orang dengan status lainnya. Apalagi bila status menjanda didapatkan karena perceraian, tudingan dan cibiran akan lebih deras menghujam dibandingkan pada pria yang menduda. Terlebih bila sang janda masih muda, cantik, cerdas, dan pandai bergaul.
1. Tegarkan Langkah
Sejatinya, janda juga seorang manusia yang tak bisa membuat takdir atas diri mereka sendiri. Bila memang biduk rumah tangga tak bisa lagi dikayuh karena hal sangat prinsipil (terutama yang menyangkut akidah), haruskah tetap bertahan dalam status istri yang tersiksa? Bukankah jalan perceraian masih halal, meski Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) memang membencinya.
Di lain kasus, dapatkah seseorang menahan laju malaikat maut yang menjemput ruh pasangan hidup? Sungguh manusia tak pernah berkuasa untuk menentukan takdirnya sendiri. Lantas, apakah kehidupan mesti berwarna suram sepanjang sisa hidup seorang manusia berstatus janda?
Ini tentu tak adil. Karena, dalam Islam, perempuan-perempuan dengan status janda pun mendapatkan perlakuan yang terhormat. Bila seorang perempuan menjanda akibat suami yang syahid di medan perang, apakah layak janda syuhada ini menjadi sasaran tudingan dan cibiran?
Kita hidup di negeri yang membutuhkan lebih banyak energi untuk tetap berdiri dengan identitas sebagai seorang Muslimah. Di negeri ini, butuh pembuktian lebih keras untuk bisa menunjukkan kemandirian dan ketangguhan sebagai Muslimah. Karena itu, bila status menjanda adalah sebuah takdir yang memang harus dijalani, jemputlah dengan segenap kekuatan jiwa dan raga serta tetaplah bersyukur. Jangan sampai bola salju yang bernama “janda” itu justru lebih dahulu menghantam, hingga kita lumat di dalamnya dan membuat anggapan miring masyarakat semakin mendapat pembenaran.
2. Terhormat Meski Sendiri
Mungkin, untuk yang kesekian kali, kita harus meneladani pribadi Ibunda Khadijah RA. Semasa jahiliyah, dimana perempuan Arab adalah jenis manusia yang direndahkan, beliau mampu berdiri dengan agung. Menjadi wanita terhormat yang dikagumi, meski beliau menyandang status janda. Tak ada anggapan miring yang hinggap pada sosoknya, karena ia adalah perempuan yang sangat rapat menjaga diri. Ia pun tak menjadi orang yang mengemis belas kasihan pada orang lain, karena ia mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya. Ketika ia memutuskan untuk kembali menikah pun, ia berhasil menjalani kehidupan yang lebih baik bersama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (SAW), ketimbang dengan dua suami terdahulunya.
Ibunda Khadijah memang luar biasa. Namun, Ibunda Khadijah juga manusia biasa yang langkahnya dapat dijejak kembali oleh Muslimah di masa sekarang. Artinya, bila takdir berbicara bahwa kita harus menjanda, hiduplah menjadi seorang janda layaknya Ibunda Khadijah. Yakni, janda yang tegar dan kuat, tak lellah untuk bejuang di jalanNYA untuk menjalani kehidupan, janda yang menjadikan warna hidupnya bahkan lebih baik dan lebih mulia meski sendiri.
Menjadi janda yang terhormat memang tak mudah. Perjalanan untuk menjadi sosok yang demikian juga bukan masa yang ringan. Butuh kesabaran dan tekad yang kuat untuk tetap berorientasi pada “hari esok yang lebih baik”. Sebab, masyarakat kita terbiasa menyaksikan seorang janda yang tenggelam dalam kesedihan pasca kematian suaminya atau pasca bercerai, ketimbang yang langsung bergerak mengusahakan yang terbaik, berjuang, bangkit dengan lebih kuat dan tegar untuk kembali mejalani hidup yang lebih baik untuk kehidupan dirinya dan anak-anaknya.
Namun, yakinlah bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi langkah hamba-Nya dengan penuh cinta. Bersemangatlah dan berpegang teguhlah pada cita bahwa “hari esok lebih baik”.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami ialah Allah’, kemudian mereka bersikap istikamah, maka akan turun malaikat kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’”(Fushshilat [41]: 30)
Lihatlah betapa tegarnya sosok Cut Nyak Dhien yang justru mengokang senjata ketika nyawa suaminya terengggut di medan perang. Di usianya yang masih 28 tahun, beliau bahkan semakin garang melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Beliau yakin, perpisahan di dunia ini hanyalah sementara karena orang-orang yang syahid di jalan Allah SWT kelak akan berkumpul kembali dengan orang-orang yang dicintainya di surga.
3. Lebih Baik dari Sebelumnya
Namun demikian, bukan berarti seorang janda sebaiknya memilih untuk tetap sendiri setelah suaminya berpulang atau bercerai. Karena, menikah lagipun pilihan yang baik untuk seorang janda. Akan tetapi, bila seorang janda hendak menikah lagi, alangkah lebih baik jika terlebih dahulu memperhatikan langkah yang pernah ditempuh oleh Ummu Salamah.
Suaminya, Abu Salamah sebelum mangkat, meminta istrinya untuk menikah lagi. Abu Salamah pun berdoa kepada Allah SWT untuk mengaruniakan seorang laki-laki yang lebih baik darinya dan tidak menyengsarakan serta menyakiti istrinya. Berbekal permohonan suaminya pada Allah SWT itulah, Ummu Salamah kemudian menolak pinangan Abu Bakar RA dan Umar bin Khaththab RA. Rasulullah SAW yang sangat menghormati mendiang Abu Salamah pun merasa prihatin atas keadaan Ummu Salamah yang kini sendirian menanggung beban kehidupan. Rasulullah SAW pun akhirnya meminang Ummu Salamah. Maka siapakah manusia yang lebih baik dari Rasulullah SAW?
Belajar dari Ummu Salamah, alangkah indah bila pernikahan seorang janda Muslimah lebih baik dari pernikahan sebelumnya. Hal ini sangat penting karena seorang janda pasti telah memiliki pengalaman hidup bersama suaminya yang terdahulu. Bila pernikahan selanjutnya tidak lebih baik dibanding pernikahan yang sebelumnya, pasti akan banyak penyesalan yang menjelma.
Karena itu, seorang janda Muslimah sebaiknya lebih berhati-hati dalam memilih calon suami yang akan mendampinginya. Ibunda Khadijah pun mengajarkan yang demikan. Beliau sangat selektif dalam memilih pasangan hidupnya. Hampir seluruh pemuka bangsa Arab menawarkan pinangan, tetapi beliau tetap diam dalam keagungannya.
Bersabarlah. Tetaplah istikamah dalam kebaikan yang senantiasa kita hadirkan dalam setiap langkah. Sebab, Islam telah mengajarkan melalui teladan Ibunda Khadijah, Ummu Salamah, dan Cut Nyak Dhien bahwa menikah kembali sama sekali bukan karena alasan sepele. Melainkan karena alasan-alasan besar untuk mewujudkan cita-cita yang besar pula.







.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar