Selasa, 21 Desember 2010


Bagaimana ya, caranya kita membuat anak-anak bangga terhadap Islamnya?
Sebuah SMS masuk saat saya asyik mengutak-atik blog. Hmm…muncul sebuah ide untuk menuliskannya ke dalam sebuah artikel.
Anak Islam jaman sekarang sepertinya sedang mengalami krisis terhadap agamanya sendiri. Jarang sekali, saya menemukan seorang anak menunjukkan kebanggaannya terhadap Islam sebagai agamanya. Mereka lebih suka mengikuti gaya hidup orang Barat, yang tentunya sangat jauh dari nilai-nilai Islam.
Adalah tugas kita sebagai orangtua dan pendidik untuk menumbuhkan rasa cinta dan kebanggaan tersebut pada diri anak-anak kita. Seorang anak tidak akan mungkin bisa menjadi seorang muslim yang baik jika dia tidak memiliki kecintaan terhadap Islam. Karena itulah, kita harus memanfaatkan masa emas mereka tersebut untuk mulai memberikan arahan-arahan yang baik dan benar.
Masa kanak-kanak adalah waktu yang tepat untuk mengarahkannya, karena pada masa ini, mereka masihlah seorang anak yang polos, yang tidak teracuni pikirannya oleh kecenderungan-kecenderungan yang merusak.
Bagaimana caranya?
Ajarkan sejak dalam kandungan. Sangat baik bagi ibu hamil untuk banyak-banyak memperdengarkan bacaan Al-Qur’an pada janinnya. Entah dengan mengaji sendiri, dibacakan oleh suaminya, atau bahkan melalui alat.
Sekali lagi : berikan contoh! Anak-anak adalah pengamat. Mereka mengamati, memperhatikan, dan merekam apa saja yang ada di lingkungan mereka. Jika anak melihat orangtuanya tekun dalam beribadah, berpegang teguh pada ajaran agama, ayahnya mengajarinya untuk mencintai masjid dan shalat tepat waktu, ibunya mengajarinya untuk bersedekah, maka anak-anak akan lebih mudah untuk mencintai agamanya.
Mengulang-ulang ayat-ayat Al-Qur’an, juga perkataan tentang Allah, iman, dan Islam.Anak teman saya yang baru berusia 2 tahun sudah bisa menyebutkan rukun Islam dengan urut dan benar, meski belum jelas bicaranya. Dia juga telah hafal surat-surat pendek. Subhanallah! Ini karena peran ibunya yang dengan telaten mengarahkannya. Bahkan, ibunya sempat menyeletuk, “Abdurrahman besok besar mau sekolah dimana?” anak itu menjawab dengan bangga, “KSA…Madinah…KSA..”-maksudnya adalah Universitas Islam Madinah di Saudi Arabia. Saat saya bertanya, “dimana Allah?” dia menjawab, “Alesy” maksudnya “Arsy”-singgasana Allah di langit ketujuh.
Anak-anak biasanya senang dengan gerakan-gerakan. Saya menggunakan metode bahasa isyarat untuk mengajari mereka bersyahadat dan mengungkapkan rasa cinta pada Allah. Anda pernah melihat bagaimana orang bisu berbahasa isyarat saat mengucapkan “aku cinta kamu”? Nah, metode itu saya gunakan untuk membahasakan “aku cinta Allah” dengan menunjuk ke atas saat mengucapkan kata “Allah”.
Ceritakan tentang bagaimana kehebatan-kehebatan Islam pada anak-anak. Anda bisa membacakannya buku-buku sejarah Islam, tentang kehebatan panglima-panglima besar Islam dalam menaklukkan negara-negara kafir. Tentang kepribadian Rosulullah yang sangat mulia dan berbudi pekerti. Dengan demikian, anak-anak akan memiliki figur untuk mereka contoh. Perlahan-lahan hal tersebut akan menumbuhkan kecintaan dan kebanggaannya pada Islam.
Berikan kesadaran untuk mencintai shalat. Amatlah mulia jika sejak kecil orangtua mengajak anak untuk mau ikut shalat bersamanya. Walaupun mungkin di awal-awal mereka akan sambil bermain-main, tapi, kebiasaan tersebut perlahan-lahan akan membuat mereka secara spontanitas mengerjakan shalat bila waktunya tiba.
Pilihkan sekolah yang lebih banyak mengarahkan mereka pada nilai-nilai Islam yang benar. Kita tidak boleh sembarangan memilih sekolah untuk anak. Label “Islam” sendiri sering kali ternyata tak sesuai dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Banyak program-program yang dibuat tak sesuai dengan syariat, kemudian tak adanya hijab antara murid laki-laki dengan murid perempuan, dsb.
Atas izin Allah, anak-anak yang terbina dengan baik sejak dini akan dengan bangga menyuarakan isi hatinya, tentang kecintaannya pada Islam. Mari kita sama-sama belajar untuk mengarahkan mereka kepada jalan yang selamat…

Sabtu, 18 Desember 2010

Women Entrepreneurship...why not??

Peluang bisnis bagi wanita, sebenarnya sangat besar. Bukan hanya untuk saat ini, tapi juga untuk saat yang akan datang. Bahkan, peluang bisnis Enterepreneur wanita itu sebenarnya lebih besar dari pada Entrepreneur laki-laki.

Wanita menjadi pengusaha? Kisah zaman dahulu mengenai wanita yang menjadi pengusaha diwarnai keterpaksaan. Mereka mendirikan usaha demi mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya. Sebagian hanya memenuhi tujuan awalnya, sekadar sebagai penopang hidup keluarga. Sebagian lagi berkembang menjadi perusahaan ternama dan besar.
Kisah prinsip “kepepet” yang menjadi motif sebagian besar wanita pengusaha zaman dahulu. Zaman sudah berubah. Sekarang banyak wanita memilih jalan hidup sebagai pengusaha. Ada yang berawal dari karyawan, banyak pula yang sejak duduk di bangku sekolah atau kuliah yang bercita-cita menjalankan usaha sendiri. Motif menjadi pengusaha menjadi makin beragam. 
Itu karena dia punya kelebihan. Kelebihannya adalah terletak justru pada “Kewanitaannya”. Dimana, sosok Entrepreneur wanita itu lebih unggul dalam negoisasi. Itu mungkin karena keluwesan atau fleksibilitasnya. Atau istilah Candi G. Brush, professor assistant dari management police of Boston University, entrepreneur wanita lebih kooperatif, informal, dan lebih mudah membangun kesepakatan dengan pihak lain.
Sebaiknya, entrepreneur laki-laki cenderung lebih kompetitif, lebih terkesan formal, dan lebih suka berpikir sistematik.



Jika Anda mendaki gunung, apa yang paling Anda perlukan? Bekal makanan, peralatan, atau keterampilan? Tentu semuanya penting. Tapi yang paling penting: alasan Anda mendaki gunung. Jika alasan mendaki gunung hanya sekadar untuk coba-coba, sedikit saja mengalami rintangan maka perjalanan tidak akan dilanjutkan. Pendakian pun berlangsung santai, dan Anda tidak ngotot untuk sampai ke puncak dengan cepat.

Lain lagi jika alasannya adalah untuk mengukir prestasi – apakah menjadi orang yang pertama mencapai puncak gunung itu, atau waktu pendakian tercepat, maupun mengukir nama kelompok. Maka pendakian gunung akan dipersiapkan dengan matang, direncanakan dengan cermat, dan dilakukan dengan penuh semangat. Si pendaki juga tidak mudah menyerah terhadap tantangan dan rintangan yang ditemui. Masalah waktu juga dipertimbangkan dengan baik.

Mengapa seseorang mendaki gunung, inilah yang disebut sebagai motif. Pada kisah yang pertama motifnya adalah coba-coba. Pada motif yang hanya coba-coba, pendakian tidak dilakukan dengan serius, semangat alakadarnya, dan segera kembali jika menghadapi rintangan. Atau dengan kata lain motivasinya rendah. Pada kisah yang kedua, motifnya adalah untuk mengukir prestasi. Walaupun tujuannya sama, yaitu ke puncak gunung, tapi persiapannya dilakukan dengan matang, pelaksanaannya dilakukan dengan cermat dan penuh semangat, dan tidak mudah menyerah. Dengan kata lain motivasinya tergolong tinggi. Mereka adalah achiever. Motif lainnya adalah mencari rasa aman.

Jika dia menemukan tempat yang aman, dia akan berhenti. Motivasinya cukup tinggi untuk mendapatkan rasa aman. Ketika rasa aman terpenuhi, motivasinya menurun. Merekalah para survivor. Termasuk kelompok yang manakah Anda, achiever, survivor, atau yang angin-anginan? Saya yakin Anda bukan tergolong yang terakhir. Jika motif berwirausaha hanya iseng-iseng saja, pelaksanaannya kurang serius dan Anda mudah menyerah jika  mendapat  rintangan. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak kita temui wanita wirausahawan yang tergolong survivor. Para ibu yang harus menghidupi keluarganya berwirausaha untuk survive. Namun di tengah segala keterbatasannya, ia dapat berpikir maju dan berubah menjadi achiever. Achievement adalah bagaimana agar apa yang dilakukan hari ini lebih dari kemarin atau lebih baik dari orang lain. Jika kita mengharuskan diri kita untuk lebih baik dari kemarin, berarti kita berpacu dengan diri kita sendiri. Sementara jika kita ingin lebih baik dari yang lain berarti kita berkompetisi dengan orang lain. Kompetisi merupakan salah satu pemicu kemajuan. Melalui kompetisi orang berlomba untuk mencapai sesuatu yang lebih baik, agar dapat mengungguli lainnya. Dorongan untuk berkompetisi (secara sehat dan konstruktif) sangat dibutuhkan oleh dunia bisnis, karena dunia bisnis adalah dunia persaingan. 

Hanya saja, sayangnya saya melihat entrepreneur wanita umumnya dikenal terlalu hati-hati dalam berbisnis, dan bahkan terlalu takut untuk mengambil risiko. Sehingga, jika kelemahan itu tidak berhasil kelola dengan baik, maka jelas akan mengakibatkan jumlah entrepreneur wanita yang terjun ke dunia usaha saat sekarang ini, relative kecil.
Contohnya, anggota IWAPI (Ikatan Wanita Penguasaha Indonesia) yang jumlahnya relative lebih sedikit daripada kalau kita bandingkan dengan anggota KADIN atau HIPMI atau organisasi serupa yang “laki-laki”. Mungkin hal itu bisa saja karena kebanyakan bisnis yang dimiliki entrepreneur wanita, lebih sedikit daripada jika mereka bekerja pada suatu peusahaan. Seperti yang diungkapkan oleh sebuah riset dari institute for women’s policy research di Washington DC.
Sementara, Marger Lovero, direktur dari Entrepreneurial Center at Manattanvile College mengatakan, bahwa entrepreneur wanita itu sulit berkembang maju, juga karena mereka cenderung mempertahankan bisnis kecilnya. Sebab, baginya menjadi besar, tapi lebih pada keinginan untuk mencoba men-support dirinya sendiri atau mandiri, membawa keseimbangan dan fleksibilitas dalam mengatur waktu kesehariannya. Tapi kalau dia bekerja di perusahaan lain, fleksibilitas itu tidak didapatkannya.
Dalam konteks inilah, barangkali ada baiknya sekarang ini bisnis di kalangan entrepreneur wanita, perlu untuk terus didorong pada kegiatan bisnis industri rumah tangga, yang lebih memungkinkan bisnis atau jiwa entrepreneur bisa terus berkembang. Oleh karena itulah, saya kira meski keberanian wanita di dalam menekuni dunia usaha tidak sebesar keberanian yang dilakukan entrepreneur laki-laki, namaun jika entrepreneur wanita ingin berkembang bisnisnya, dia semestinya berani mengambil risiko, dan lebih berani membentuk jaringan bisnis yang lebih luas lagi.

Resep Entrepreneurship

Tentu saja entrepreneurship bukan sekadar semangat. Berikut adalah 9 resep yang perlu dipegang oleh para wanita entrepreneur yang dikutip dari buku Leadpreneurship: Pendekatan Strategic Management dalam Kewirausahaan.

1. Positive Mindset ab out Business
Untuk menjadi seorang wirausahawan yang sukses, seorang wanita harus memiliki mindset yang positif tentang bisnis. Ia harus menanamkan keyakinan bahwa aktivitas bisnis merupakan pendorong utama kemajuan peradaban serta peningkatan kualitas hidup manusia.

2. Business is A Noble Professi on
Tanamkanlah keyakinan bahwa profesi wirausahawan bagi wanita adalah sama terhormatnya dengan profesi-profesi lainnya, yang juga membanggakan.

3. Impr ove Sensitivit On Opp ort unities

Salah satu karakteristik dari seorang wirausahawan yang sukses adalah kemampuannya mengidentifikasi peluang bisnis dan kemudian memanfaatkannya secara optimal. Kemampuan inilah yang perlu terus diasah sehingga seorang wirausahawan bisa dengan segera melihat hal-hal yang belum terlihat orang lain.

4. Balance Coordinati on on
Optimistic View and Expl ore the Challenges That Have To Be Made Tidak jarang wirausahawan merasa begitu optimistis terhadap sebuah peluang. Sayangnya optimisme ini tidak jarang cenderung berlebihan. Sikap optimistis bagi seorang wirausahawan memang sangat diperlukan, namun segala realitas serta tantangan yang bakal dihadapi tetaplah harus dipertimbangkan. Banyak wirausahawan yang gagal karena terlalu optimistis sehingga kurang cermat dalam menghitung peluang.

5. Be Realistic with Regard to Project Magnit ude and Available Res ources
Masalah sumber daya serta besarnya proyek harus mendapat perhatian. Dalam menjalankan aktivitasnya, hal terpenting bagi seorang wirausahawan adalah memperoleh hasil yang optimal dengan sumber daya yang tersedia.

6. Start with the Least Possible
Fixed Expendit ures Salah satu prinsip dalam merintis usaha adalah memulai dengan pengeluaran tetap (fixed expenditure) kecil.

7. Find People Who Can Work and Thin k for the Organization
“Manusia“ adalah modal utama dalam merintis usaha. Menemukan orang yang mau dan mampu bekerja serta memiliki komitmen terhadap organisasi, merupakan masalah yang paling krusial, karena faktor ini akan menentukan masa depan usaha. Jiwa kepemimpinan berperan sangat penting.

8. Strive for a Health y Cash
Flow Management Kesehatan finansial perusahaan harus mendapat prioritas utama untuk menjaga eksistensi usaha. Manajemen arus kas yang sehat sangat penting bagi keberlangsungan perusahaan.

9. Expand Busines Scale Acc ording to the Realistic Devel opments
Sebelum melakukan ekspansi, harus dilakukan analisis seputar perkembangan lingkungan internal dan eksternal perusahaan. Hanya berbekal keyakinan semata tidaklah cukup tanpa kalkulasi yang cermat.

sumber: berbagai blog.



Entrepreneurship ala CIPUTRA

Orientasi pendidikan kita saat ini umumnya memang membangun manusia pencari kerja dan bukan membangun manusia pencipta kerja, itu sebabnya generasi muda kita umumnya tidak memiliki kecakapan untuk menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri. Pertanyaan yang mungkin timbul adalah apakah entrepreneur-entrepreneur baru bisa dibentuk melalui pendidikan? Untuk menjawab pertanyaan ini, Peter Drucker berkata :”The entrepreneurial mystique? It’s not magic, it’s not mysterious, and it has nothing to do with the genes. It’s a discipline. And, like any discipline, it can be learned.”
Untuk menghasilkan entrepreneur-entrepreneur baru, mengatasi kemiskinan dan pengangguran, sekaligus membangun kesejahteraan dalam satu generasi, Ciputra mengajukan strategi jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek Ciputra mengusulkan dibangunnya entrepreneurship center di kampus-kampus terkemuka. Center ini berfungsi melakukan pendidikan dan pelatihan entrepreneurship, pengkajian kurikulum entrepreneurship, inkubator, konsultasi dan dukungan jaringan finansial dan mentoring bagi para entrepreneur baru. Dalam jangka panjang Ciputra mengusulkan pengintegrasian pembelajaran entrepreneurship dalam kurikulum nasional mulai dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Ia pun mengusulkan Kerja Sama Gerakan Nasional Budaya Wirausaha antara pihak pemerintah, akademisi, kalangan bisnis dan tokoh sosial, agar budaya entrepreneurship bisa terbangun di Indonesia.

Bakat Entrepreneur Bisa Dikembangkan oleh Siapa Saja
Bagi Ciputra, ada tiga ciri utama seorang entrepreneur. Pertama seorang entrepreneur mampu melihat peluang bisnis yang tidak dilihat atau diperhitungkan orang lain. Ia melihat kemungkinan dan memiliki visi untuk menciptakan sesuatu yang baru yang memicu semangatnya untuk bertindak. Kedua seorang entrepreneur adalah orang yang bertindak untuk melakukan inovasi, mengubah keadaan yang tidak/kurang menyenangkan menjadi keadaan seperti yang ia inginkan. Tindakannya lah yang membuat seorang entrepreneur menjadi inovator. Ketiga, seorang entrepreneur adalah seorang pengambil risiko, baik risiko yang bersifat financial (baca : rugi), maupun risiko yang bersifat mental (baca : dianggap gagal). Dengan 3 ciri tersebut, seorang entrepreneur sejati seperti seorang “perintis kawasan baru” atau “pendaki gunung” yang selalu mencari puncak-puncak baru untuk ditaklukan.
Dalam pandangan Ciputra, orang yang memiliki atau mengelola sebuah bisnis, belum tentu seorang entrepreneur. Orang bisa memiliki sebuah bisnis dengan meniru bisnis yang sudah berhasil, seperti banyak dilakukan dalam sistem waralaba. Pebisnis model ini tidak memulai dengan visi , tidak melakukan tindakan-tindakan yang inovatif dan juga tidak mengambil risiko yang besar. Mereka itu bisa disebut pebisnis atau pengusaha, tapi bukan entrepreneur seperti yang dimaksud oleh Ciputra.
Berikut ini adalah nasihat dari Ciputra bagi para entrepreneur muda :
  • Jangan tinggalkan pendidikan formal, tetapi justru gunakan pendidikan formal untuk mempelajari lebih banyak hal demi mewujudkan impian sebagai entrepreneur.
  • Tidak ada kata terlalu cepat atau terlalu lambat untuk menjadi entrepreneur. Yang penting pelajari segala hal untuk mewujudkan impian itu.
  • Pilih bidang usaha yang sesuai dengan minat, pendidikan dan bakat-bakat terbaik kita. Bidang usaha yang menumbuhkan mimpi-mimpi yang memasok energi dan membuat kita tetap bersemangat untuk berusaha, terutama jika sejumlah tangtangan menghambat langkah ke depan.
  • Mimpikanlah apa yang Anda inginkan dan inginkanlah apa yang Anda impikan. Bangunlah keyakinan bahwa itu bisa diperoleh melalui kerja keras yang terfokus. Ceritakan pada diri sendiri dan teman-teman dekat apa yang Anda impikan dan kerjakan. Bertindaklah mulai saat ini untuk mewujudkannya.
  • Ide bisnis dapat datang dengan berbagai cara pada waktu dan tempat yang tidak terduga. Supaya tidak mudah hilang, biasakanlah untuk mencatat ide-ide tersebut.
  • Seorang calon entrepreneur harus membiasakan diri untuk tertarik pada pada praktik-praktik bisnis terbaik, dilingkungan terdekatnya ataupun dimana saja. Praktik-praktik terbaik itu bukan saja untuk dipelajari tapi lebih dari itu untuk ditiru dan dijalankan sesuai dengan konteks bisnis yang ada.
  • Meniru adalah proses inovatif jika yang kita lakukan adalah meniru praktik-praktif bisnis terbaik, mengambil puncak-puncak pencapaian itu dan meramunya menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih bernilai sesuai dengan konteks usaha kita sendiri.


Sepuluh Prinsip Bisnis Ciputra dalam Memulai Bisnis Baru
Banyak orang sadar akan pentingnya entrepreneurship dan ingin mulai menjadi entrepreneur, akan tetapi mereka masih bingung mulai nya dari mana. Di dalam memulai bisnis baru Ciputra memiliki sepuluh prinsip bisnis, yaitu :
  1. Mulailah dari apa yang ada pada diri kita, mulailah dari apa yang bisa kita lakukan. Coba sadari pengetahuan apa yang kita miliki, atau keahlian apa yang bisa dijadikan pijakan awal, dan adakah kawan-kawan yang bisa diajak ikut berbisnis? Mulailah dari langkah-langkah kecil, sampil merajut visi dan mimpi besar berikutnya.
  2. Carilah mitra bisnis yang melengkapi keunggulan Anda. Pola kemitraan akan memperkecil risiko masing-masing pihak dan memperbesar kemungkinan berhasilnya, karena dapat mempermudah dan mempercepat proses bisnis itu sendiri.
  3. Mencari mitra bisnis seperti mencari istri. Tak perlu tergesa-gesa, namun gunakan semua jalur yang mungkin untuk memperoleh informasi seluas-luasnya. Jika masih ragu bersabarlah, jika Anda yang perlu rendah hatilah. Tetaplah memperjelas kriteria dari mitra bisnis yang kita cari.
  4. Yakinkanlah mitra bisnis Anda dengan memberikan manfaat nyata, bukan janji-janji. Dan selalulah menjaga komitmen untuk memberikan manfaat bagi kedua belah pihak agar reputasi terjaga dan hubungan bisa terjaga langgeng.
  5. Cermatlah membaca pasar. Jadilah yang terdepan dalam mengantisipasi siklus. Masukilah pasar yang belum matang.
  6. Ketepatan mengatakan “no” sama pentingnya dengan ketepatan mengatakan “yes”. Jangan takut menunda menggarap sebuah bisnis baru jika Anda yakin keputusan itu mendatangkan hasil yang lebih baik di masa depan.
  7. Ada kalanya seorang entrepreneur harus menggunakan intuisinya dalam mengambil keputusan. Intuisi dapat dilatih dan dipelajari berdasarkan pengalaman. Semakin sering seorang entrepreneur dihadapkan pada keharusan mengambil keputusan pada saat sulit, semakin tajam intuisinya.
  8. Seorang entrepreneur adalah juga seorang pemasar yang tangguh. Ia tak kenal lelah menceritakan dan meyakinkan sebanyak mungkin orang pada saat kapanpun tentang betapa bernilainya bisnis baru yang ia garap.
  9. Seorang entrepreneur yang sukses, membangun dan bekerja lewat organisasinya. Dalam tahap apapun bisnis Anda, usahakan membangun organisasi.
  10. Jangan memikirkan kemungkinan gagal. Pusatkan perhatian pada upaya mencapai hasil terbaik. Dan bila belum juga berhasil, upayakan lagi sampai berhasil.
Prestasi, nasihat dan prinsip-prinsip Ciputra telah menjadi inspirasi dan membangun motivasi yang lebih besar lagi bagi saya untuk merealisasikan mimpi-mimpi saya membangun bisnis yang inovatif, menciptakan lapangan kerja baru dan turut mensejahterakan bangsa. Semoga Anda pun merasakan hal yang sama. Mari kita kobarkan semangat entrepreneurship yang benihnya mungkin saja sudah tertanam namun terpendam dan belum tumbuh, tersembunyi terlalu lama di dalam hidup kita. SUKSES ITU HAK SETIAP PRIBADI!! DAN MISKIN ITU DOSA!!

Rabu, 15 Desember 2010

Konsep Pendidikan Kejuruan

Konsep Pendidikan Kejuruan

A. Pengertian Pendidikan Kejuruan

Ditinjau secara sistemik, pendidikan kejuruan pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem pendidikan. Terdapat banyak definisi yang diajukan oleh para ahli tentang pendidikan kejuruan dan definisi-definisi tersebut berkembang seirama dengan persepsi dan harapan masyarakat tentang peran yang harus dijalankannya (Muchlas Samani, 1992:14)

Evans & Edwin (1978:24) mengemukakan bahwa: “pendidikan kejuruan merupakan bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan individu pada suatu pekerjaan atau kelompok pekerjaan”. Sementara Harris dalam Slamet (1990:2), menyatakan: ”Pendidikan kejuruan adalah pendidikan untuk suatu pekerjaan atau beberapa jenis pekerjaan yang disukai individu untuk kebutuhan sosialnya”.
Menurut House Committee on Education and Labour (HCEL) dalam (Oemar H. Malik, 1990:94) bahwa: “pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan, dan kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan”. Dari definisi tersebut terdapat satu pengertian yang bersifat universal seperti yang dinyatakan oleh National Council for Research into Vocational 

Education Amerika Serikat (NCRVE, 1981:15), yaitu bahwa “pendidikan kejuruan merupakan subsistem pendidikan yang secara khusus membantu peserta didik dalam mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja”.
Dari batasan yang diajukan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri pendidikan kejuruan dan yang sekaligus membedakan dengan jenis pendidikan lain adalah orientasinya pada penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja.
Agak berbeda dengan batasan yang diberikan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE, Finch & Crunkilton (1984:161) menyebutkan: “pendidikan kejuruan sebagai pendidikan yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk bekerja guna menopang kehidupannya (education for earning a living).
Selanjutnya dari definisi yang diajukan oleh Evans & Edwin, Harris, HCEL, NCRVE maupun Finch & Crunkilton dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang tertentu, berarti pula mempersiapkan mereka agar dapat memperoleh kehidupan yang layak melalui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing serta norma-norma yang berlaku.

B. Ciri Pembelajaran Pendidikan Kejuruan

Ciri pendidikan kejuruan yang utama adalah sebagai persiapan untuk memasuki dunia kerja. Secara historis, menurut Evans & Edwin (1978:36) pendidikan kejuruan sesungguhnya merupakan perkembangan dari latihan dalam pekerjaan (on the job training) dan pola magang (apprenticeship).
Pada pola latihan dalam pekerjaan, peserta didik belajar sambil langsung bekerja sebagai karyawan baru tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk sebagai instruktur, sehingga tidak ada jaminan bahwa peserta didik akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Walaupun demikian, menurut Elliot (1983:15), pola latihan dalam pekerjaan memiliki keunggulan karena peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan yang sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri.
Pada pola magang terdapat seorang karyawan senior yang secara khusus ditugasi sebagai instruktur bagi karyawan baru (peserta didik) yang sedang belajar. Instruktur tersebut bertanggungjawab untuk membimbing dan mengajarkan pengetahuan serta keterampilan yang sesuai dengan tugas karyawan baru yang menjadi asuhannya. Dengan demikian pola magang relatif lebih terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih besar dibanding pola latihan dalam pekerjaan (Evans & Edwin, 1978:38).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin canggih membawa pengaruh terhadap pola kerja manusia. Pekerjaan menjadi kompleks dan memerlukan bekal pengetahuan dan keterampilan yang makin tinggi, sehingga pola magang dan latihan dalam pekerjaan kurang memadai karena tidak memberikan dasar teori dan keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja sebagai karyawan baru. Oleh karena itu kemudian berkembang bentuk sekolah dan latihan kejuruan yang diselenggarakan oleh sekolah kejuruan bekerja sama dengan kalangan industri, dengan tujuan memberikan bekal teori dan keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja.

C. Tujuan Pendidikan Kejuruan


Ditinjau dari tujuannya, menurut Thorogood (1982:328) pendidikan kejuruan bertujuan untuk:
(1) memberikan bekal keterampilan individual dan keterampilan yang laku di masyarakat, sehingga peserta didik secara ekonomis dapat menopang kehidupannya, (2) membantu peserta didik memperoleh atau mempertahankan pekerjaan dengan jalan memberikan bekal keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan yang diinginkannya, (3) mendorong produktivitas ekonomi secara regional maupun nasional, (4) mendorong terjadinya tenaga terlatih untuk menopang perkembangan ekonomi dan industri, (5) mendorong dan meningkatkan kualitas masyarakat.
Agak berbeda dengan Thorogood, Evans seperti yang dikutip oleh Wenrich & Wenrich (1974:63) menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk: “(1) menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh masyarakat, (2) meningkatkan pilihan pekerjaan yang dapat diperoleh oleh setiap peserta didik, dan (3) memberikan motivasi kerja kepada peserta didik untuk menerapkan berbagai pengetahuan yang diperolehnya.”
Dari tujuan pendidikan kejuruan yang diajukan oleh Thorogood dan Evans di atas, dapat disimpulkan bahwa di samping mengemban tugas pendidikan secara umum, pendidikan kejuruan mengemban misi khusus, yaitu memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk memasuki lapangan kerja dan sekaligus menghasilkan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Di samping tujuan khusus yang diajukan oleh Thorogood dan Evans di atas, Crunkilton (1984:25) menyebutkan bahwa: ”salah satu tujuan utama pendidikan kejuruan adalah meningkatkan kemampuan peserta didik sehingga memperoleh kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya”. Menurut Miner (1974:48-56) bekal yang dipelajari dalam pendidikan kejuruan akan merupakan bekal untuk mengembangkan diri dalam bekerja. Dengan bekal kemampuan mengembangkan diri tersebut diharapkan karier yang bersangkutan dapat meningkat dan pada gilirannya kehidupan mereka akan makin baik (Karabel & Hasley, 1977:14). Penelitian yang dilakukan Mulyani A. Nurhadi (1988) dan Samani (1992) ternyata memperkuat pendapat Miner serta Karabel dan Hasley tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia misi pendidikan kejuruan, seperti diungkapkan oleh Crunkilton tersebut, sangat penting karena pada umumnya siswa sekolah kejuruan berasal dari masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah (Suprapto Brotosiswoyo, 1991:8), sehingga apabila sekolah kejuruan berhasil mewujudkan misinya berarti akan membantu menaikan status sosial ekonomi masyarakat tingkat bawah. Dengan kata lain sekolah kejuruan dapat membantu meningkatkan mobilitas vertikal dalam masyarakat (Elliot, 1983:42).

D. Pengelompokan Pendidikan Kejuruan


Pendidikan kejuruan dapat dikelompokkan berdasarkan jenjang dan menurut struktur programnya. Pengelompokan berdasarkan jenjang dapat didasarkan atas jenjang kecanggihan keterampilan yang dipelajari atau jenjang pendidikan formal yang berlaku (Zulbakir dan Fazil, 1988:7)
Jenjang pendidikan formal yang berlaku dikenal pendidikan kejuruan tingkat sekolah menengah (secondary) atau sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan berbagai program keahlian seperti Listrik, Elektronika Manufaktur, Elektronika Otomasi, Metals, Otomotif, Teknik Pendingin, Gambar Bangunan, Konstruksi Baja, Tata Busana, Tata Boga, Travel and Tourism, penjualan, akuntansi, manajemen perkantoran dan sebagainya serta tingkat di atas sekolah menengah (post secondary) misalnya politeknik (IEES, 1986:124)
Berdasarkan struktur programnya, khususnya dalam kaitan dengan bagaimana sekolah kejuruan mendekatkan programnya dengan dunia kerja, Evans seperti yang dikutip oleh Hadiwiratama (1980:60-69) membagi sekolah kejuruan menjadi lima kategori, yaitu (1) program pengarahan kerja (pre vocational guidance education), (2) program persiapan kerja (employability preparation education), (3) program persiapan bidang pekerjaan secara umum (occupational area preparation education), (4) program persiapan bidang kerja spesifik (occupational specific education), dan (5) program pendidikan kejuruan khusus (job specific education).
Pada program pengarahan kerja, sekolah memberikan pengetahuan dasar dan umum tentang berbagai jenis pekerjaan di masyarakat sekaligus menumbuhkan apresiasi terhadap berbagai pekerjaan tersebut, sedangkan pada program persiapan kerja, sekolah memberikan dasar-dasar sikap dan keterampilan kerja, meskipun masih bersifat umum. Dengan program ini diharapkan peserta didik mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan, meskipun tentunya masih harus melalui latihan di dalam pekerjaan.
Untuk program persiapan bidang pekerjaan secara umum, sekolah memberikan bekal guna meningkatkan kemampuan bekerja untuk bidang pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, peralatan yang sejenis. Dengan program ini diharapkan peserta didik mempunyai pilihan lapangan pekerjaan yang lebih jelas dan lebih cepat mengikuti latihan di dalam pekerjaan.

Program persiapan kerja yang spesifik memberikan bekal yang sudah mengarah kepada jenis pekerjaan tertentu, meskipun belum pada suatu perusahaan tertentu. Lebih khusus lagi adalah program pendidikan kejuruan khusus yang sudah terarah pada pekerjaan khusus, yaitu mendidik siswa untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh suatu perusahaan tertentu.

Perjenjangan kedekatan pendidikan kejuruan yang disebutkan oleh Evans di atas berarti juga kesiapan lulusan dalam memasuki lapangan kerja. Makin khusus jenis pendidikan kejuruan akan makin siap lulusannya memasuki lapangan kerja, tetapi juga makin sempit bidang pekerjaan yang dapat dimasuki. Walaupun demikian, kecuali untuk keperluan tertentu pendidikan kejuruan yang khusus (job specific education) sangat sulit diterapkan di Indonesia, mengingat jenis industri di Indonesia sangat bervariasi. Di sini mulai timbulnya dilema antara siap pakai atau siap latih dalam pendidikan kejuruan.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Semiawan (1991:6), yang penting adalah kesiapan mental untuk mengembangkan dirinya serta keterampilan dasar untuk setiap kali dapat menyesuaikan diri kembali pada perubahan tertentu (retrain ability). Dengan bekal tersebut diharapkan lulusan sekolah menengah kejuruan tidak hanya terpancang pada jenis pekerjaan yang ada, tetapi juga terdorong untuk mewujudkan lapangan kerja baru dengan mengembangkan prakarsa dan kreativitasnya secara optimal.
Sejalan dengan itu Tilaar (1991:12) menegaskan bahwa: “pendidikan formal (sekolah kejuruan) seharusnya  menghasilkan lulusan yang memiliki kualifikasi siap latih yang kemudian diteruskan dengan program pelatihan, baik di dalam industri atau lembaga pelatihan tertentu”.
Daftar Bacaan
Muchlas Samani. 1992. Keefektifan Program Pendidikan STM: Studi Penelitian Pelacakan terhadap Lulusan STM Rumpun Mesin Tenaga dan Teknologi Pengerjaan Logam di Kotamadya Surabaya tahun 1986 dan 1987. Disertasi doktor IKIP Jakarta.
Evans, R. N. & Edwin, L. H. 1978. Foundation of Vocational Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.
Slamet. 1990. Pondasi Pendidikan Kejuruan. Lembaran Perkuliahan. Yogyakarta: Pascasarjana IKIP Yogyakarta.
Oemar H. Malik. 1990. Pendidikan Tenaga Kerja Nasional, Kejuruan, Kewiraswastaan, dan Manajemen. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.
National Council for Research into Vocational Education. 1981. Towards a Theory of Vocational Educational. Columbus, Ohio: NCRVE Publication.
Finch, Curtis R. & Crunkilton, John R. 1984. Curriculum Development in Vocational and Technical Education: Planning, Content, and Implementation. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Elliot, Janet. 1983. The Organization of Productive Work In Secondary Technical and Vocational Education The United Kingdom. London: Unesco.
Thorogood, Ray. 1982. Current Themes in Vocational Education and Training Policies, Part I. Industrial and Commercial Training 9, pp. 328-331.
Wenrich, Ralph C. & Wenrich, William J. 1974. Leadership in Administration of  Vocational Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Co.
Miner, Jacob. 1974. Family Investment in Human Capital: Earning of Woman. Journal of Political Economy 82 (2). Pp. 48-56.
Karabel, R. L. & Hasley, R. A. 1977. Vocational Education Outcomes: Perspective for Evaluation. Columbus: NCRVE.
Mulyani A. Nurhadi,. 1988. The Effects of Schooling Factor on Personal Earning Within the Context of Internal Labor Market in PT. Petrokimia Gresik (Persero) Indonesia. Yogyakarta: PPS IKIP Yogyakarta.
Suprapto Brotosiswoyo,. 1991. Pendidikan Menengah. Makalah Pengantar Diskusi Kelompok Rapat Kerja Nasional. Agustus 1991. Jakarta: Depdikbud
Zulbakir & Fazil. 1988. Program Pendidikan Menengah Teknologi dan Perkembangan IPTEK di Indonesia. Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional Pendidikan Juli 1988, Bandung
IEES .1986.. Indonesia Education and Human Resources Sector Review. Chapter VII-Vocational/Technical Education. Jakarta: Depdikbud and USAID
Cony R. Semiawan, 1991. Pengembangan Kirikulum untuk SMKTA Menyongsong Era Tinggal Land. Makalah pada Seminar Pengembangan Kurikulum SMK. Juni 1991. Jakarta: Balitbang Dikbud.
Tilaar, H.A.R. 1991. Sistem Pendidikan Yang Modern Bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila. Makalah pada KIPNAS V September 1991, Jakarta.

Kinerja Mengajar Guru

Kinerja Mengajar Guru

A. Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan terjemahan dari performance (Inggris). Selain bermakna kinerja,  performance juga diterjemahkan secara beragam. Keragaman tersebut salah satunya diungkapkan oleh Sedarmayanti (2001:50) yang  mengutip paparan LAN, bahwa “Performace dapat diterjemahkan menjadi kinerja, juga berarti prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja atau hasil kerja/unjuk kerja/penampilan kerja”.
Gibson et.al. (1996:118) mengatakan, kinerja adalah tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan Hasibuan (2001:94) yang menyebut kinerja sebagai prestasi kerja mengungkapkan bahwa “prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang disandarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”. Mangkunegara (2000:67) berpendapat “prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Carver and Sergiovanni (dalam Rahardja, 2004) menyatakan bahwa kinerja merupakan tindakan yang menunjukkan bahwa dia adalah anggota kelompok. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kinerja menunjuk (mengacu) pada perbuatan atau tingkah laku seseorang di dalam suatu kelompok (organisasi). Brown (dalam Rahardja, 2004) mengemukakan bahwa kinerja adalah manifestasi konkrit dan dapat diobservasi secara terbuka atau realisasi suatu kompetensi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah unjuk kerja seseorang dalam melaksanakan tugas sebagai realisasi konkret dari kompetensi berdasarkan kecakapan, pengalaman dan kesungguhan.


B. Konsep Mengajar
Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Berhasilnya  pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Zamroni (2000:74) mengatakan “guru adalah kreator proses belajar mengajar”. Ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji  apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya  dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa orientasi  pengajaran  dalam  konteks  belajar  mengajar  diarahkan untuk  pengembangan  aktivitas  siswa  dalam  belajar.  Gambaran  aktivitas  itu  tercermin  dari  adanya  usaha  yang  dilakukan  guru dalam kegiatan proses belajar mengajar yang memungkinkan siswa aktif belajar. Oleh karena itu mengajar tidak hanya sekedar menyampaikan informasi yang sudah jadi dengan menuntut jawaban verbal melainkan suatu upaya integratif ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Dalam konteks ini guru tidak hanya sebagai penyampai informasi tetapi juga bertindak sebagai director and facilitator of learning.
Nasution (1982:8) mengemukakan kegiatan mengajar diartikan sebagai segenap aktivitas kompleks yang dilakukan guru dalam mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar. Dengan demikian proses dan keberhasilan belajar siswa    turut ditentukan oleh peran yang dibawakan guru selama interaksi proses belajar mengajar berlangsung. Usman (1994:3) mengemukakan mengajar pada prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan terjadinya proses belajar. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat berperan sebagai organisator kegiatan belajar siswa dan juga hendaknya mampu memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, yang menunjang terhadap kegiatan belajar mengajar. Burton (dalam Usman, 1994:3) menegaskan “teaching is the guidance of learning activities”.  Hamalik (2001:44-53) mengemukakan, mengajar dapat diartikan sebagai (1) menyampaikan pengetahuan kepada siswa, (2) mewariskan kebudayaan kepada generasi muda, (3) usaha mengorganisasi lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa, (4) memberikan bimbingan belajar kepada murid, (5) kegiatan mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik, (6) suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari. Tardif (dalam Adrian, 2004) mendefinisikan, mengajar adalah any action performed by an individual (the teacherwith the intention of facilitating learning in another individual (the learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini peserta didik) melakukan kegiatan belajar.  Biggs (dalam Adrian, 2004) seorang pakar psikologi membagi konsep mengajar menjadi tiga macam pengertian yaitu (1) Pengertian Kuantitatif.  Mengajar diartikan sebagai the transmission of knowledge, yakni penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada siswa dengan sebaik-baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya siswa bukan tanggung jawab pengajar. (2) Pengertian institusional.  Mengajar berarti  the efficient orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam hal ini guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap siswa yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat, kemampuan dan kebutuhannya. (3) Pengertian kualitatif.  Mengajar diartikan sebagai the facilitation of learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa mencari makna dan pemahamannya sendiri. Burton (dalam Sagala, 2003:61) mengemukakan mengajar adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.

Dari definisi-definisi mengajar dari para pakar di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mengajar adalah aktivitas kompleks yang dilakukan guru dalam menyampaikan pengetahuan kepada siswa, sehingga terjadi proses belajar. Aktivitas kompleks yang dimaksud antara lain adalah (1) mengatur kegiatan belajar siswa, (2) memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, dan (3) memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kinerja mengajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah unjuk kerja guru dalam melaksanakan tugas mengajar.
C. Dimensi Kinerja Mengajar Guru
Guru, murid, dan bahan ajar merupakan unsur yang dominan dalam proses pembelajaran di kelas. Ketiga unsur ini saling berkaitan, saling mempengaruhi serta saling menunjang antara satu dengan yang lainnya. Jika salah satu unsur tidak ada, kedua unsur yang lain tidak dapat berhubungan secara wajar dan proses pembelajaran tidak akan berlangsung dengan baik. Jika proses belajar mengajar ditinjau dari segi kegiatan guru, maka akan terlihat bahwa guru memegang peranan strategis. Menurut Majid (2005:91) dalam konteks ini guru berfungsi sebagai pembuat keputusan yang berhubungan dengan perencanaan, implementasi, dan penilaian
.Kenerja guruGambar: Fungsi Guru dalam Proses Pembelajaran
Sumber: Majid, Abdul. (2005). Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.  h.92

Sebagai perencana, guru hendaknya dapat mendiagnosa kebutuhan para siswa sebagai subjek belajar, merumuskan tujuan kegiatan proses pembelajaran, dan menetapkan strategi pengajaran yang ditempuh untuk merealisasikan tujuan yang telah dirumuskan. Sebagai pengimplementasi rencana pengajaran  yang telah disusun, guru hendaknya mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada dan berusaha “memoles” setiap situasi yang muncul menjadi situasi yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Pada saat melaksanakan kegiatan evaluasi, guru harus dapat menetapkan prosedur dan teknik evaluasi yang tepat. Jika tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan pada kegiatan perencanaan belum tercapai, maka ia harus meninjau kembali serta rencana implementasinya dengan maksud untuk melakukan perbaikan.
Lebih rinci Nasution (2003:184-185) mengemukakan mengajar terdiri atas sejumlah kegiatan tertentu, yaitu:
  1. Membangkitkan dan memelihara perhatian.
  2. Menjelaskan kepada murid hasil apa yang diharapkan
  3. Merangsang murid untuk mengingat kembali konsep, aturan, dan keterampilan yang merupakan prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan
  4. Menyajikan stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran
  5. Memberikan bimbingan kepada murid dalam proses belajar mengajar
  6. Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada murid apakah hasil belajarnya benar atau tidak
  7. Menilai hasil belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memberikan beberapa soal
  8. Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasikan apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi lain.
  9. Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari itu.
Berdasarkan uraian di atas, dimensi kinerja mengajar guru yang akan dijadikan kajian dalam penelitian ini meliputi kinerja mengajar guru dalam 1) merencanakan pembelajaran, 2) melaksankan pembelajaran, dan 3) mengevaluasi  pembelajaran.

a. Merencanakan Pembelajaran

Proses belajar mengajar perlu direncanakan agar dalam pelaksanaannya pembelajaran berlangsung dengan baik dan dapat mencapai hasil yang diharapkan. Setiap perencanaan selalu berkenaan dengan pemikiran tentang apa yang akan dilakukan. Perencanaan program belajar mengajar memperkirakan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pada waktu melaksanakan pembelajaran.
Untuk membuat perencanaan pembelajaran yang baik dan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang ideal, setiap guru harus mengetahui unsur-unsur perencanaan pembelajaran yang baik. Menurut Hunt (1999:24) dalam Majid (2005:94), unsur-unsur perencanaan pembelajaran tersebut adalah mengidentifikasi kebutuhan siswa, tujuan yang hendak dicapai, berbagai strategi dan skenario yang relevan digunakan untuk mencapai tujuan, dan kriteria evaluasi Bersamaan dengan itu menurut Rosyada (2004:123), peran guru dalam mengembangkan strategi amat penting, karena aktivitas belajar siswa sangat dipengaruhi oleh sikap dan perilaku guru di dalam kelas. Jika mereka antusias memperhatikan aktivitas dan kebutuhan-kebutuhan siswa, maka siswa tersebut pun akan mengembangkan aktivitas-aktivitas belajarnya dengan baik, antusias, giat, dan serius. Berkaitan dengan ini Mulyasa (2004:80), mengemukakan pengembangan persiapan mengajar harus memperhatikan minat dan perhatian peserta didik terhadap materi yang dijadikan bahan kajian. Dalam hal ini peran guru bukan hanya sebagai transformator, tetapi harus berperan sebagai motivator yang dapat membangkitkan gairah belajar, serta mendorong siswa untuk belajar dengan menggunakan berbagai variasi media, dan sumber belajar yang sesuai serta menunjang pembentukan kompetensi. Berkenaan dengan hal ini tersebut.  Mulyasa (2004:80), mengemukakan beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam mengembangkan persiapan mengajar, yaitu:
  1. Rumusan kompetensi dalam persiapan mengajar harus jelas. Semakin konkret kompetensi, semakin mudah diamati dan semakin tepat kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk membentuk kompetensi tersebut.
  2. Persiapan mengajar harus sederhana dan fleksibel serta dapat dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik.
  3. Kegiatan-kegiatan yang disusun dan dikembangkan dalam persiapan mengajar harus menunjang dan sesuai dengan kompetensi yang telah ditetapkan.
  4. Persiapan mengajar yang dikembangkan harus utuh dan menyeluruh, serta jelas pencapaiannya.
  5. Harus ada koordinasi antara komponen pelaksana program sekolah, terutama apabila pembelajaran dilaksanakan secara tim (team teaching) atau moving class
Majid (2005:95) mengemukakan,  agar guru dapat membuat persiapan mengajar yang efektif dan berhasil guna, dituntut untuk memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan pengembangan persiapan mengajar, baik berkaitan dengan hakikat, fungsi, prinsip maupun prosedur pengembangan persiapan mengajar, serta mengukur efektivitas mengajar. Rencana pembelajaran yang baik menurut Gagne dan Briggs (1974) dalam Majid (2005:96) hendaknya mengandung tiga komponen yang disebut anchor point,yaitu: 1) tujuan pengajaran; 2) materi pelajaran, bahan ajar, pendekatan dan metode mengajar, media pengajaran dan pengalaman belajar; dan 3) evaluasi keberhasilan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moore (2001: 126) bahwa komposisi format rencana pembelajaran meliputi komponen topik bahasan, tujuan pembelajaran (kompetensi dan indikator kompetensi), materi pelajaran, kegiatan pembelajaran, alat/media yang dibutuhkan, dan evaluasi hasil belajar. Menurut Suryadi dan Mulyana (1993:21), “program belajar mengajar” tidak lain adalah suatu proyeksi guru mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung. Dalam kegiatan tersebut secara terperinci dijelaskan ke mana siswa itu akan dibawa (tujuan), apa yang harus dipelajari (isi bahan pelajaran), bagaimana siswa mempelajarinya (metode dan teknik), dan bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapainya (penilaian). Selanjutnya Suryadi dan Mulyana mengemukakan, unsur-unsur utama yang harus ada dalam perencanaan pengajaran, yaitu: (1) tujuan yang hendak dicapai, berupa bentuk-bentuk tingkah laku apa yang diinginkan untuk dimiliki siswa setelah terjadinya proses belajar mengajar, (2) bahan pelajaran atau isi pelajaran yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan, (3) metode dan teknik yang digunakan, yaitu bagaimana proses belajar mengajar yang akan diciptakan guru agar siswa mencapai tujuan, dan (4) penilaian, yakni bagaimana menciptakan dan menggunakan alat untuk mengetahui tujuan tercapai atau tidak.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang amat penting masuk dalam rencana pengajaran adalah: 1) apa yang akan diajarkan, pertanyaan ini menyangkut berbagai kompetensi yang harus dicapai, indikator-indikatornya, serta materi bahan ajar yang akan disampaikan untuk mencapai kompetensi tersebut; 2) bagaimana mengajarkannya, pertanyaan ini berkenaan dengan berbagai strategi yang akan dikembangkan dalam proses pembelajaran, termasuk pengembangan berbagai aktivitas opsional bagi siswa dalam menyelesaikan tugas-tugasnya; 3) bagaimana mengevaluasi hasil belajarnya, pertanyaan ini harus dijawab dengan merancang jenis evaluasi untuk mengukur daya serap siswa terhadap materi yang mereka pelajari pada sesi tersebut.
Dengan demikian, dimensi merencanakan  pembelajaran yang dijadikan kajian dalam penelitian ini meliputi indikator, (1) merumuskan tujuan pengajaran, (2) memilih dan mengembangkan bahan pengajaran, (3) merencanakan kegiatan belajar mengajar, termasuk di dalamnya merencanakan pendekatan dan metode pengajaran, langkah-langkah kegiatan belajar mengajar, alat dan sumber belajar serta (4) merencanakan penilaian.

1. Merumuskan Tujuan Pembelajaran
Sudirman, dkk.  (1991:53) mengemukakan tujuan pembelajaran merupakan tujuan yang berbentuk tingkah laku atau kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki siswa setelah proses belajar mengajar. Reece dan Walker (1997:17), menjelaskan guru perlu mengetahui ke mana seharusnya siswa diarahkan dan apa yang akan dipelajari siswa.  Dengan cara ini, guru mengetahui kapan siswa sampai ke sana.  Dalam bahasa pendidikan, hal ini menuntut guru untuk mengidentifikasi hasil pembelajaran.  Hasil pembelajaran tersebut dapat dinyatakan dengan tujuan dan sasaran (aims and objectives).  Pada intinya, tujuan dan sasaran ini merupakan harapan dari apa yang dapat dilakukan siswa pada akhir pembelajarannya. Tujuan pembelajaran ditentukan baik oleh guru maupun perancang kurikulum dalam silabus dan rencana pembelajaran untuk menyatakan apa yang akan dicapai oleh pembelajaran tersebut.  Tujuan pembelajaran dibedakan dengan sasaran pembelajaran.  Sasaran dalam hal ini lebih bersifat spesifik dan lebih dapat diukur secara langsung, sedangkan tujuan tidak begitu dapat diukur secara langsung. Usman (1994:29) menjelaskan hasil belajar yang dicapai siswa sangat erat kaitannya dengan rumusan tujuan pembelajaran yang direncanakan oleh guru. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru sebagai perancang (designer) proses belajar mengajar. Untuk itu guru harus menguasai taksonomi hasil belajar. Bloom (dalam Usman (1994:29) mengelompokkan tujuan pembelajaran ke dalam tiga kategori, yakni domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif mencakup tujuan yang berhubungan dengan ingatan (recall), pengetahuan, dan kemampuan intelektual. Domain afektif mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan perubahan-perubahan sikap, nilai, perasaan, dan minat. Domain psikomotor mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan manipulasi dan kemampuan gerak (motor).
Dalam tataran praktis, Usman (1994:113) mengungkapkan, rumusan tujuan pembelajaran  perlu memperhatikan lima syarat, yaitu (1) kesesuaian tujuan instruksional khusus dengan tujuan instruksional umum, (2) kelengkapan jumlah TIK, (3) kejelasan rumusan (tidak menimbulkan tafsiran ganda), (4) kelengkapan rumusan TIK (subyek, tingkah laku yang dapat diukur, kondisi pencapaian, dan kriteria pencapaian), dan (5) urutan TIK dari yang mudah kepada yang sukar.  Riwajatna (2003:36) mengemukakan rumusan tujuan pembelajaran perlu memperhatikan empat kriteria, yaitu menggunakan kata kerja yang operasional, tiap tujuan berbentuk hasil belajar, berbentuk tingkah laku, dan tiap tujuan yang menggambarkan satu jenis tingkah laku. Nasution (2003:190) mengemukakan beberapa syarat bagi tujuan pembelajaran yang baik adalah kata kerja hendaknya menunjukkan perbuatan yang dapat diamati, uraian tentang stimulus dan respon siswa, menentukan alat yang digunakan oleh siswa, dan petunjuk tentang sifat jawaban yang diharapkan. Sudirman (1991:70-71) mengemukakan rumusan tujuan pembelajaran perlu memperhatikan kriteria ABCD, yaitu (1) Audience, yaitu yang mendengarkan atau yang mengikuti pelajaran dalam hal ini adalah siswa atau peserta didik, (2) Behavior, yaitu tingkah laku yang diharapkan dicapai sebagai hasil proses belajar mengajar, (3) Condition, yaitu keadaan atau sesuatu yang perlu disediakan sebagai persyaratan untuk dapat melakukan dan mencapai tingkah laku yang diharapkan, (4) Degree, yaitu derajat, kualitas, atau standar minimal dari hasil belajar yang diharapkan dalam rumusan tujuan. Sagala (2003:167) memaparkan tujuan pembelajaran hendaknya (1) spesifik atau khusus, dalam arti bahwa perilaku yang terkandung di dalamnya sudah dibatasi lingkupnya, (2) operasional, dalam arti bahwa perilaku yang terkandung di dalamnya konkret dan dapat diamati, dan (3) dapat diukur dalam arti bahwa terwujud tidaknya perilaku yang dimaksud dalam diri siswa dapat diukur melalui alat ukur yang ada.
Berkenaan uraian di atas, rumusan tujuan yang disusun oleh guru hendaknya tepat, spesifik, operasional, lengkap, dapat diukur dan sistematis.

2. Memilih dan Mengembangkan Bahan Pengajaran
Materi pengajaran harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat menunjang pencapaian tujuan pembelajaran. Menurut Majid (2005:46) materi yang akan diajarkan perlu diidentifikasi apakah termasuk fakta, konsep, prinsip, prosedur atau gabungan lebih dari satu jenis materi.  Dengan mengidentifikasi jenis-jenis materi yang harus dipelajari siswa, guru akan mendapat kemudahan dalam mengajarkannya. Hal ini disebabkan setiap jenis materi pembelajaran memerlukan strategi pembelajaran atau metode, media, dan sistem penilaian yang berbeda-beda.
Usman (1994:112) mengemukakan terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan bahan pengajaran, yaitu berpedoman pada bahan pengajaran yang tercantum dalam kurikulum, memilih dengan tepat bahan sesuai dengan karakteristik murid, dan menyusun bahan pengajaran sesuai dengan taraf kemampuan berpikir murid. Sagala  (2003:162) mengemukakan ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pelajaran, yaitu: materi pelajaran hendaknya sesuai dengan atau dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional, materi pelajaran hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan dan perkembangan siswa pada umumnya, materi pelajaran hendaknya terorganisir secara sistematik dan berkesinambungan, dan materi pelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual.

3. Merumuskan Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan. Majid (2005:24) dalam kaitan ini memberikan penjelasan bahwa kegiatan pembelajaran mengembangkan kemampuan untuk mengetahui, memahami, melakukan sesuatu, hidup dalam kebersamaan dan mengaktualisasikan diri. Dengan demikian menurut Puskur (2004:13) dalam Majid (2005:24) kegiatan pembelajaran perlu:
(1) berpusat pada peserta didik, (2)  mengembangkan kreativitas peserta didik,
(3) menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang, (4) bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan (5) menyediakan pengalaman yang beragam.
Merumuskan kegiatan belajar mengajar menurut Usman (1994:52-53) meliputi kegiatan menentukan metode yang digunakan, langkah-langkah kegiatan belajar mengajar, merencanakan alat dan sumber belajar.

4. Merencanakan Metode Pembelajaran yang akan Digunakan
Sagala (2003:169) mengemukakan, metode mengajar adalah cara yang digunakan guru dalam mengorganisasikan kelas pada umumnya atau dalam menyajikan bahan pelajaran pada khususnya. Surakhmad (1979:75) mengemukakan metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Namun menurut Hatimah (2000:10) metode dalam pembelajaran tidak hanya berfungsi sebagai cara untuk menyampaikan materi saja, melainkan berfungsi juga untuk pemberian dorongan, pengungkap tumbuhnya minat belajar, penyampaian bahan belajar, pencipta iklim belajar yang kondusif, tenaga untuk melahirkan kreativitas, pendorong untuk penilaian diri dalam proses dan hasil belajar, dan pendorong dalam melengkapi kelemahan hasil belajar.
Kemahiran guru untuk memilih metode yang serasi dengan kebutuhan menurut Riwajatna (2003:51) ditentukan oleh pengalamannya, keluasan pemahaman guru tentang bahan pelajaran, tersedianya media, pemahaman guru tentang karakteristik siswa, dan karakteristik belajar. Surakhmad (1979:76) mengemukakan penggunaan metode dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain tujuan, anak didik, situasi, fasilitas, dan pribadi guru.
Metode apapun yang direncanakan oleh guru menurut Majid (2005:136) hendaknya dapat mengakomodasi menyeluruh terhadap prinsip-prinsip KBM. Pertama, berpusat pada anak didik (student oriented). Guru harus memandang anak didik sebagai sesuatu yang unik, tidak ada dua orang anak didik yang sama, sekalipun mereka kembar. Suatu kesalahan jika guru memperlakukan mereka secara sama. Gaya belajar (learning style) anak didik harus diperhatikan. Kedua, belajar dengan melakukan (learning by doing). Supaya proses belajar menyenangkan guru harus menyediakan kesempatan kepada anak didik untuk melakukan apa yang dipelajarinya, sehingga ia memperoleh pengalaman nyata. Ketiga, mengembangkan kemampuan sosial. Proses pembelajaran dan pendidikan selain sebagai wahana untuk memperoleh pengetahuan, juga sebagai sarana untuk berinteraksi sosial (learning to live together). Keempat, mengembangkan keingintahuan dan imajinasi. Proses pembelajaran dan pengetahuan harus dapat memancing rasa ingin tahu anak didik. Juga mampu memompa daya imajinasi anak didik untuk berpikir kritis dan kreatif. Kelima, mengembangkan kreativitas dan keterampilan memecahkan masalah.

5. Merencanakan Langkah-langkah Kegiatan Belajar Mengajar
Sudirman, dkk. (1991:73)  menjelaskan,  menentukan kegiatan belajar merupakan langkah penting yang dapat menunjang keberhasilan pencapaian tujuan. Kegiatan ini harus disesuaikan dengan tujuan.  Dalam menetapkan kegiatan belajar ini guru harus menetapkan kegiatan mana yang perlu dan yang tidak perlu dilakukan.
Dalam kaitan ini Usman (1994:74) menjelaskan langkah-langkah kegiatan belajar hendaknya terintegrasi antara kegiatan siswa dengan kegiatan guru. Setiap langkah hendaknya mempunyai sasaran yang jelas, dipahami siswa, mengembangkan kreativitas, dan memungkinkan penilaian hasilnya

6. Merencanakan Media dan Sumber Belajar
Media pengajaran menurut Usman (1994:26) adalah “alat-alat yang digunakan oleh guru ketika mengajar untuk membantu memperjelas materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa dan mencegah terjadinya verbalisme pada diri siswa”.
Media pengajaran menurut Encyclopedia of Educational Research dalam Usman (1994:27) memiliki nilai praktis sebagai berikut:
  1. Meletakkan dasar-dasar yang konkret untuk berpikir. Oleh karena itu mengurangi verbalisme (tahu istilah tetapi tidak tahu arti, tahu nama tetapi tidak tahu bendanya).
  2. Memperbesar perhatian siswa.
  3. Membuat pelajaran lebih mantap atau tidak mudah dilupakan.
  4. Memberikan pengalaman yang nyata yang dapat menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri di kalangan para siswa.
  5. Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan kontinyu.
  6. Membantu tumbuhnya pengertian dan membantu perkembangan kemampuan berbahasa.
Sudirman, dkk. (1991:213) mengungkapkan agar media pengajaran yang dipilih tepat, terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu objektivitas, program pengajaran, sasaran program, situasi dan kondisi, kualitas teknik, keefektifan dan efisiensi  penggunaan.
Burton Usman (1994:27) memberikan petunjuk bahwa dalam memilih media yang akan digunakan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Alat-alat yang dipilih harus sesuai dengan kematangan dan pengalaman siswa serta perbedaan individual dalam kelompok.
  2. Alat yang dipilih harus tepat, memadai, dan mudah digunakan.
  3. Harus direncanakan dengan teliti dan diperiksa lebih dahulu.
  4. Penggunaan alat peraga disertai kelanjutannya seperti dengan diskusi, analisis, dan evaluasi.
  5. Sesuai dengan batas kemampuan biaya.
Hoover dalam Usman (1994:27) memberikan beberapa prinsip merencanakan penggunaan media pembelajaran sebagai berikut:
  1. Tidak ada alat peraga yang dapat dianggap paling baik.
  2. Alat-alat tertentu lebih tepat daripada yang lain berdasarkan jenis, pengertian, atau dalam hubungannya dengan tujuan.
  3. Audiovisual dan sumber-sumber yang digunakan merupakan bagian integral dari pengajaran
  4. Perlu diadakan persiapan yang seksama oleh guru dan siswa mengenai audiovisual.
  5. Siswa menyadari tujuan alat audiovisual dan merespon data yang diberikan.
  6. Perlu diadakan kegiatan lanjutan
  7. Alat audiovisual dan sumber-sumber yang digunakan untuk menambah kemampuan komunikasi memungkinkan belajar lebih luas karena adanya hubungan-hubungan.
Sumber belajar menurut Majid (2005:59) dapat didefinisikan sebagai “informasi yang disajikan dan disimpan dalam berbagai bentuk media, yang dapat membantu siswa dalam belajar sebagai perwujudan dari kurikulum”. Selanjutnya Majid (2005:59) mengkategorikan sumber belajar sebagai berikut:
  1. Tempat atau lingkungan alam sekitar dimana saja seseorang dapat melakukan belajar atau proses perubahan tingkah laku, maka tempat itu dapat dikategorikan sebagai tempat belajar yang berarti sumber belajar, misalnya perpustakaan, pasar, museum, sungai, gunung, dan sebagainya.
  2. Benda, yaitu segala benda yang memungkinkan terjadinya perubahan tingkah laku bagi peserta didik, maka benda itu dapat dijadikan sumber belajar, misalnya situs, candi, ka’bah dan sebagainya.
  3. Orang, yaitu siapa saja yang memiliki keahlian tertentu dimana peserta didik dapat belajar sesuatu, maka orang tersebut dapat dikategorikan sebagai sumber belajar. Misalnya guru, ahli geologi, polisi, dan ahli-ahli lainnya.
  4. Buku, yaitu segala macam jenis buku yang dapat dibaca secara mandiri oleh peserta didik, misalnya buku pelajaran, buku teks, kamus, ensiklopedi, fiksi, dan lain sebagainya.
  5. Peristiwa dan fakta yang sedang terjadi, misalnya peristiwa kerusuhan, peristiwa bencana, dan peristiwa lainnya yang dapat menjadikan peristiwa itu sebagai sumber belajar.
Sudirman, dkk. (1991:203) mengklasifikasikan sumber belajar terdiri atas, manusia (people), bahan (materials), lingkungan (setting), alat dan perlengkapan (tools), dan aktivitas (activities). Sudirman, dkk. (1991:209) memberikan beberapa patokan yang dapat dijadikan bahan pemikiran bagi guru dalam memilih sumber belajar, yaitu program pengajaran (kurikulum), kondisi lingkungan, karakteristik siswa, dan karakteristik sumber pengajaran.
Sumber belajar akan menjadi bermakna bagi peserta didik maupun guru apabila sumber belajar diorganisir melalui rancangan yang memungkinkan seseorang dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar. Jika tidak, maka tempat atau lingkungan sekitar, benda, orang, atau buku tidak akan bermakna sebagai sumber belajar.
7. Merencanakan Penilaian
Sudirman (1991:72-73) menjelaskan penilaian berfungsi untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan. Ia menegaskan yang penting dalam penilaian bukan hanya untuk menentukan “angka” keberhasilan, namun juga sebagai feedback bagi guru. Sebagai alat untuk mengukur, penilaian harus sesuai dengan tujuan. Rencana penilaian ini menurut Sudirman meliputi tes awal (pre test) dan tes akhir (post test), jenis tes yang akan digunakan, dan rumusan soal-soal tes. Menurut Majid (2005:187) perencanaan penilaian perlu memperhatikan beberapa prinsip berikut:
  1. Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not a part from instruction)
  2. Penilaian harus mencerminkan masalah dunia nyata (real world problems) bukan masalah dunia sekolah (school work kind of problem).
  3. Penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metode, dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar.
  4. Penilaian harus bersifat holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran (kognitif, afektif, dan sensori motorik).
Penilaian yang dilakukan guru menurut Chittenden dalam Majid (2005:1897-188) hendaknya diarahkan untuk mencapai empat tujuan. Pertama, penelusuran (keeping track) yaitu untuk menelusuri agar proses pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana. Kedua, pengecekan (checking-up), yaitu untuk mengecek kelemahan-kelemahan yang dialami anak didik dalam proses pembelajaran. Ketiga, pencarian (finding-out), yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran. Keempat, penyimpulan (summing-up), yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah menguasai seluruh kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum atau belum.

b.  Melaksanakan Pembelajaran

Pembelajaran atau proses belajar mengajar adalah proses yang diatur dengan tahapan-tahapan tertentu, agar pelaksanaannya mencapai hasil yang diharapkan. Tahapan-tahapan kegiatan pembelajaran menurut Majid (2005:104) meliputi kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.  Usman (1994:120) mengemukakan pelaksanaan pembelajaran mengikuti prosedur memulai pelajaran, mengelola kegiatan belajar mengajar, mengorganisasikan waktu, siswa, dan fasilitas belajar, melaksanakan penilaian proses dan hasil pelajaran, dan mengakhiri pelajaran. Sudirman, dkk. (1991:77) pelaksanaan pembelajaran meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu tes awal, proses, dan tes akhir.
Berdasarkan uraian di atas, pelaksanaan pembelajaran dapat deskripsikan dari tiga kegiatan utama, yaitu membuka pembelajaran, menyampaikan materi pelajaran, dan menutup pembelajaran.

1. Membuka Pembelajaran
Dijelaskan Majid (2005:104) membuka pembelajaran dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada siswa, memusatkan perhatian, dan mengetahui apa yang telah dikuasai siswa  berkaitan dengan bahan yang akan dipelajari. Kegiatan pendahuluan ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, melaksanakan apersepsi atau penilaian kemampuan awal. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana kemampuan awal yang dimiliki siswa. Seorang guru perlu menghubungkan materi pelajaran yang telah dimiliki siswa dengan materi yang akan dipelajari siswa dan tidak mengesampingkan motivasi belajar terhadap siswa. Kedua, menciptakan kondisi awal pembelajaran melalui upaya
(1) menciptakan semangat dan kesiapan belajar melalui bimbingan guru kepada siswa, (2) menciptakan suasana pembelajaran demokratis dalam belajar, melalui cara dan teknik yang digunakan guru dalam mendorong siswa untuk kreatif dalam belajar dan mengembangkan keunggulan yang dimilikinya.
Memulai pembelajaran menurut Usman (1994:85) dapat dilakukan melalui empat kegiatan. Pertama, menarik perhatian siswa. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menarik perhatian siswa antara lain gaya mengajar guru, penggunaan alat bantu pengajaran, dan pola interaksi yang bervariasi. Kedua, menimbulkan motivasi siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menimbulkan rasa ingin tahu, dan mengemukakan ide yang bertentangan. Ketiga, memberikan acuan melalui berbagai usaha seperti mengemukakan tujuan dan batas-batas tugas, menyarankan langkah-langkah yang akan dilakukan, mengingatkan masalah pokok yang akan dibahas, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Keempat, membuat kaitan atau hubungan di antara materi- materi yang akan dipelajari dengan pengalaman dan pengetahuan yang telah dikuasai oleh siswa.

2. Menyampaikan Materi Pelajaran
Menyampaikan materi pelajaran menurut Majid (2005:104) adalah kegiatan utama untuk menanamkan, mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan berkaitan dengan bahan kajian yang bersangkutan. Kegiatan inti setidaknya mencakup (1) penyampaian tujuan pembelajaran, (2) penyampaian materi/bahan ajar dengan menggunakan pendekatan, metode, sarana dan alat/media yang sesuai, (3) pemberian bimbingan bagi pemahaman siswa, dan (4) melakukan pemeriksaan/pengecekan mengenai pemahaman siswa.
Usman (1994:122) memberikan beberapa rambu-rambu dalam menyampaikan bahan pelajaran, yaitu (1) bahan yang disampaikan benar, tidak ada yang menyimpang, (2) penyampaian lancar dan tidak tersendat-sendat, (3) penyampaian sistematis, (4) bahasa jelas dan benar serta mudah dimengerti oleh siswa, (5) memberi contoh yang tepat. Selain rambu-rambu di atas, Usman (1994:123) menjelaskan agar dalam menyampaikan pelajaran guru dapat menggunakan media yang tepat sehingga membantu pemahaman murid,  memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif, dan memberikan penguatan. Senada dengan pendapat di atas Sudirman, dkk. (1991:43) mengemukakan materi pelajaran yang disajikan harus sesuai dengan tuntutan agar tetap memenuhi kebutuhan siswa, kematangan siswa, mengandung nilai fungsional, praktis, serta disesuaikan dengan lingkungan siswa.
Penyampaian materi pembelajaran tidak bisa terlepas dari pengelolaan kelas. Menurut Usman (1994:89) pengelolaan kelas merupakan upaya untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya bila terjadi gangguan dalam proses belajar mengajar. Selanjutnya Usman (1994:90) menjelaskan suatu kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur siswa dan sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran. Juga hubungan interpersonal yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa merupakan syarat keberhasilan pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas yang efektif merupakan prasyarat mutlak bagi terjadinya proses belajar mengajar yang efektif. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kelas menurut Usman (1994:117) antara lain adalah 1) mengatur tempat duduk sesuai dengan strategi yang digunakan, 2) menentukan alokasi penggunaan waktu belajar mengajar, dan 3) menentukan cara mengorganisasi murid yang terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Mulyasa (2004:15) menyebutkan setidaknya terdapat tujuh hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kelas, yaitu ruang belajar, pengaturan sarana belajar, susunan tempat duduk, penerangan, suhu, pemanasan sebelum masuk ke materi yang akan dipelajari, dan bina suasana dalam pembelajaran.

3. Menutup  Pembelajaran
Kegiatan penutup pembelajaran menurut Majid (2005:105) adalah kegiatan yang memberikan penegasan atau kesimpulan dan penilaian terhadap penguasaan bahan kajian yang diberikan pada kegiatan inti. Kesimpulan ini dibuat oleh guru dan atau bersama-sama dengan siswa. Kegiatan yang harus dilaksanakan dalam kegiatan akhir dan tindak lanjut ini menurut Majid (2005:105) meliputi:
  1. Melaksanakan penilaian akhir dan mengkaji hasil penilaian
  2. Melaksanakan kegiatan tindak lanjut dengan alternatif kegiatan di antaranya: memberikan tugas atau latihan-latihan, menugaskan mempelajari materi pelajaran tertentu, dan memberikan motivasi/bimbingan belajar.
  3. Mengakhiri proses pembelajaran dengan menjelaskan atau memberi tahu materi pokok yang akan dibahas pada pelajaran berikutnya.
Menutup pelajaran (closure) menurut Usman (1994:84) adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk mengakhiri pelajaran atau kegiatan belajar mengajar. Usaha menutup pelajaran itu dimaksudkan untuk memberi gambaran menyeluruh tentang apa yang telah dipelajari siswa, mengetahui tingkat pencapaian siswa dan tingkat keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar.
Bentuk usaha guru dalam mengakhiri kegiatan belajar mengajar menurut Usman (1994:85) dapat dilakukan dalam bentuk:
  1. Merangkum atau membuat garis-garis besar persoalan yang baru dibahas atau dipelajari sehingga siswa memperoleh gambaran yang jelas tentang makna serta esensi pokok persoalan yang baru saja diperbincangkan atau dipelajari.
  2. Mengkonsolidasikan perhatian siswa terhadap hal-hal yang pokok dalam pelajaran yang bersangkutan agar informasi yang telah diterimanya dapat membangkitkan minat dan kemampuannya terhadap pelajaran selanjutnya.
  3. Mengorganisasikan semua kegiatan atau pelajaran yang telah dipelajari sehingga merupakan suatu kebulatan yang berarti dalam memahami  materi yang baru dipelajari.
  4. Memberikan tindak lanjut (follow up) berupa saran-saran serta ajakan agar materi yang baru dipelajari jangan dilupakan serta agar dipelajari kembali di rumah.

c. Mengevaluasi Pembelajaran

Penilaian merupakan usaha untuk memperoleh informasi tentang perolehan belajar siswa secara menyeluruh, baik pengetahuan, konsep, sikap, nilai, maupun proses. Hal ini dapat digunakan oleh guru sebagai balikan  maupun keputusan yang sangat diperlukan dalam menentukan strategi mengajar yang tepat maupun dalam memperbaiki proses belajar mengajar. Untuk maksud tersebut guru perlu  mengadakan  penilaian, baik terhadap proses maupun terhadap hasil belajar.
Penilaian proses didefinisikan Usman (1994:38) sebagai “penilaian terhadap proses belajar yang sedang berlangsung, yang dilakukan oleh guru dengan memberikan umpan balik secara langsung kepada seorang siswa atau kelompok siswa”. Selanjutnya Usman (1994:38) menjelaskan dalam melatih keterampilan proses sekaligus dikembangkan sikap-sikap yang dikehendaki seperti kreatif, kerjasama, bertanggungjawab, dan sikap berdisiplin sesuai dengan penekanan bidang studi yang bersangkutan. Dengan demikian, pendekatan keterampilan proses merupakan pendekatan belajar mengajar yang mengarah kepada pengembangan kemampuan-kemampuan mental, fisik, dan sosial yang mendasar sebagai penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam diri individu siswa. Beberapa kemampuan atau keterampilan yang terdapat dalam penilaian proses antara lain mengamati, menggolongkan, menafsirkan, meramalkan, menerapkan, merencanakan penelitian, dan mengkomunikasikan. Dalam melakukan penilaian akhir, menurut Usman (1994:126) guru perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) jenis penilaian sesuai dengan kegiatan belajar mengajar yang telah diberikan, (2) sesuai dengan tujuan, (3) sesuai dengan bahan pelajaran, (4) hasilnya ditafsirkan.
Hasil penilaian yang dilakukan guru perlu ditindaklanjuti. Setelah kegiatan belajar mengajar berakhir selain terdapat murid yang dapat menguasai materi pelajaran tidak jarang masih ada murid yang tidak menguasai materi pelajaran dengan baik sebagaimana tercermin dalam nilai atau hasil belajar lebih rendah dari kebanyakan murid-murid sekelasnya.  Berkaitan dengan hal ini, menurut Majid (2005:236) ada beberapa hal yang dapat dilakukan guru, antara lain melaksanakan pengajaran perbaikan, pengajaran pengayaan, program akselerasi,  pembinaan sikap dan kebiasaan belajar yang baik, dan peningkatan motivasi belajar.

Daftar Bacaan
Arikunto, Suharsimi (1993). Manajemen Pengajaran Secara Manusia. Jakarta: Rineka Cipta
Hamalik, Oemar. (2001). Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara
Harahap, Baharuddin. (1983). Supervisi Pendidikan yang Dilaksanakan oleh Guru, Kepala Sekolah, Penilik dan Pengawas Sekolah. Jakarta:Damai Jaya.
Hatimah, Ihat. (2000). Strategi dan Metode Pembelajaran. Bandung: Adira
Joni, T. Raka. (1984). Pedoman Umum Alat Penilaian Kemampuan Guru. Jakarta: Dirjen  Pendidikan Tinggi Depdikbud
Majid, Abdul. (2005). Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moore, Kenneth, D. (2001). Classroom Teaching Skill. New York: McGraw Hill
Morphet, E.L., Johns, R.L., Reller, T.L., (1974). Educational Organization and Administration: Concept, Practice, and Issues. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hal, Inc.
Mulyasa, E.  (2004:80). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya
Reece, Ian & Walker, Stephen (1997).  Teaching, Training and Learning: A Practical Guide.  Sunderland: Business Education Publisher Ltd.
Sagala, Syaiful. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta.
Sudirman, dkk. (1991). Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sudjana,  Nana. (1989). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Surakhmad, Winarno. (1979). Metodologi Pengajaran Nasional. Bandung: Jemmars
Surya, Muhammad. (2003). Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran.Bandung: Yayasan Bhakti Winaya.
Usman, Moh. Uzer. (1994). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Wirawan. (2002). Profesi dan Standar Evaluasi. Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia & UHAMKA Press.